Jumat, 16 Agustus 2013

MASIH (KAH) ISTIQAMAH

Meski kadang hati menentang, mencela penampilan seseorang memang sering membuat senang. Setidaknya merasa diri yang menang. Itulah yang saya lakukan 6 tahun yang lalu, ketika seorang rekan yang dulu tiba-tiba menjadi teman akrab saya. Parasnya yang cantik seolah tak cukup baik dimata saya. Ah, sayang sekali, kecantikannya tidak diimbangi dengan caranya menata penampilan. Meski rapi, tapi jauh dari kata modis dan trendy. Setiap saat hanya rok panjang, atasan yang bagian atasnya tak terlihat lantaran tertutup jilbab yang memanjang menutup dada, tanpa aksesoris apalagi make up yang sempurna menutup wajah. Telinga rasanya senang kalau mendengar orang membandingkan saya dan dia jika ditilik dari sisi fisik. "Dia memang cantik, tapi tak bisa disejajarkan denganmu yang begitu pintar menyesuaikan penampilan". Begitu celoteh beberapa rekan yang membuat hati melambung ringan.

Saya mengenalnya tak sengaja. Ketika kami sama-sama lolos seleksi di sebuah perusahaan dan diterima menjadi pegawai disana. Sama-sama jauh dari kampung halaman membuat kami dekat satu sama lain, meski berbeda kegemaran, berbeda lingkungan pertemanan, dan berbeda pula cara pandang dan penampilan. Usia kami yang hanya terpaut dua tahun membuat kami tak kesulitan beradaptasi.

Yang saya pandang dari perempuan muda yang saat itu berusia dua puluh satu tahun itu adalah gambaran seorang perempuan lugu yang tak kesampaian menjadi ustadzah. Tak hanya penampilan, tutur dan sikapnyapun membuat saya kerap tak nyaman. Setiap weekend, saya merogoh kocek dalam-dalam mencari sisa gaji untuk berpelesir menghibur diri. Berkumpul dengan teman dan bersenang-senang adalah pilihan saya. Sementara ia? Pernah saya mengamati ketika tak ada lagi sisa gaji yg bisa dikais-kais di akhir bulan, dan menghabiskan waktu akhir minggu dengan mendekam dikos-kosan. Pagi hari, ia mencuci. Ah, saya lirik tumpukan cucian yang belum sempat saya bawa ke laundry lantaran sampai larut saya menjelajah bersama teman-teman wanita bernyanyi di karaoke. Jelang siang, iaberkutat dengan mushaf dan berbisik melantunkan ayat-ayat suci. Saya lirik lagi qur'an mungil pemberian mama yang teronggok berdebu di atas lemari buku. Kapan terakhir saya membukanya? Dua bulan yang lalu sepertinya, saat sedang sedih ditinggal kekasih, dan berharap Allah segera menghadirkan pengganti pujaan hati. Siang hari, ia shalat zuhur lama sekali. Bukan hanya shalat qabliyah ba'diyah yang dilakoni, tapi bacaan dan gerakanpun pelan dan dihayati. Lagi-lagi saya mengamati mukenah putih yang menggantung dibalik pintu. Shalat hanya sekedar pelepas kewajiban. Tak sampai lima menit, dengan pikiran kemana-mana, saya laksanakan shalat seadanya. Selepas salam, tak ada doa apalagi shalawat, saya langsung menyambar ponsel dan bercengrama dengan teman-seman sejawat. Sore hari, ia membaca. Kulirik bukunya, Muslimah cinta Ilahi, itu judulnya. Sayapun sering membaca, rak buku penuh tertata, namun melihat judulnya, hati kembali gelisah. Ratusan novel terjemahan bertema kisah romantis dengan bahasa vulgar nan erotis. Ah, kenapa ada malu yang menyelusup? Malam hari, dia tilawah lama sekali. Sama dengan durasi dua DVD yang saya tonton. Saya menepuk kening. Memandang masygul jam dinding yang angkanya sudah mengarah ke jam sepuluh malam. Sejak sore saya tak beranjak, melewatkan maghrib dan isya begitu saja. Tengah malam saya terbangun, terkaget-kaget dengan kelebat bayang putih di depan pintu dapur. Ternyata dia, yang mengenakan mukenah selepas shalat malam, mencari air putih sebagai bekal sahur untuk puasa senin kamisnya. Ya Allah.. anak ini, terasa begitu dekat dengan Ilahi...

Kenapa jilbabmu panjang sekali? Tanya itu pernah terungkap ketika saya dan dia sama-sama mampir ke sebuah outlet busana muslimah di dekat kantor. Dia menolak membeli baju dan jilbab baru.
Yang lama masih banyak, Mbak, masih bagus, lagian, saya kurang cocok dengan modelnya. Itu dalihnya ketika saya sarankan membeli baju muslimah yang trendy. Dia tak pernah menggurui. Ketika saya menawarkan baju yang membentuk lekuk, ia hanya mengatakan bahwa ia tak nyaman jika auratnya hanya terbalut, bukan tertutup. Ketika saya menawarkan jilbab pendek yang bercorak meriah, ia hanya berkata, tak ingin jilbabnya tak menutup dada, khawatir akan mengundang pandangan berujung syahwat para pria. Ketika saya tawarkan make up untuk mempercantik wajah, ia hanya mengatakan tak memerlukannya, sebab sudah bersyukur dengan anugerah yang dilimpahkan Allah.. Lalu apa yang saya katakan saat itu? Ah, anak dua puluh satu tahun, bocah belum tau apa-apa sudah sok alim begini? Kan yang penting pake jilbab? Mau pendek panjang atau apapun, kenapa dipermasalahkan? Islam itu kan tidak ribet-ribet amat..

Tahun berikutnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Dia masih disana, tetap dengan kesederhanaannya, tetap dengan perilaku santunnya. Dan tahun-tahun berikutnya, saya terpisah jauh darinya, Tanpa kabar, tanpa komunikasi, dan semakin lama ingatan tentangnya mulai tersisih...

Di penghujung Ramadhan 1434 H, enam tahun berselang, entah apa rencana Allah, membawa kembali pertemuan kami. Meski awalnya jauh diseberang pulau, tak terduga pertemuan kembali terjangkau. Betapa berbeda ia saat ini. Seperti bertemu dengan orang yang asing. Atau jiwa lain yang bersemayam dalam tubuh yang sama. Tak terduga, ia pun memiliki pemikiran serupa.

"Astaga mbak? Ya ampun, lo beda banget sekarang! Kayak ustadzah aja lo mbak..."
Dia mengamatiku dari atas ke bawah. Aku tersenyum samar. Ah, tentu ia tak tau pengalaman hidup yang membuatku bermetamorfosis seperti ini. Meski belum maksimal, sedikit demi sedikit kututup rapat aurat, menanggalkan atribut keduniaan yang kurasa hanya menelantarkan. Teguran Allah lebih dari cukup sebagai bukti Cinta-Nya, agar aku tak terperosok lebih jauh ke lubang yang sama. Pengalaman ukhti.. pengalaman.. batinku disela syukur dan sesal. Kusyukuri teguran Allah padaku, dan kusesali perbuatan yang menjerumuskanku dulu.

"Kamu juga beda banget..." aku hanya menyembunyikan keherananku. Dia tetap langsing dan cantik. Meski sekarang kecantikannya terasa berbeda dengan make up sempurna menutup wajah. Kemeja lengan panjang dengan rok spandek ketat menyembunyikan sepasang tungkainya. Sepatu bertumit tinggi menambah semampai dirinya, dan turban berwarna senada menutup kepalanya, memperlihatkan leher jenjangnya dibalik dalaman ninja. Dari penampilan sampai cara berbicara kenapa terasa asing?

"Masih kerja di perusahaan yang sama dek?"
"Masih mbak, tapi udah pindah, ngga disana lagi. Di cabang baru pada muda-muda orangnya, belajar pake baju trendy nih..", gelaknya terdengar memilukan di telinga. Ah, ingatan kembali ke tempat kami pernah mengais rezeki. Ia pernah beradu mulut dan memohon dengan kepala cabang. Memohon agar seragamnya diizinkan berbeda, meminta agar diperbolehkan berjilbab menutup sampai ke perut, tidak ikut beauty class yang membawanya tampil polos tanpa make up, dan atasan seragam menutup nyaris mencapai lutut. Ketika saat ini saya memperhatikan staff perusahaan tersebut sudah boleh mengenakan gamis dan jilbab syar'i, kenapa ia justru membalik hati dan menjauh dari tata cara busana sesuai perintah-Nya?

"Seragamnya masih pake rok?"
"Masih donk mbak.. Lo tau kan gue kurus banget, kalo pake celana makin keliatan kurusnyaaa... mendingan pake rok deh mbak..."
Ah, kemana dalil-dalil itu? Yang kamu jelaskan padaku dulu ketika pertanyaan yang sama kuajukan enam tahun yang lalu? Dulu, yang kamu jelaskan adalah bahwa muslimah tidak diperkenankan berpakaian menyerupai lelaki, tidak boleh berpakaian membentuk tubuh, tidak boleh bermewah-mewahan.. semua kamu jelaskan dan pada saat itu kuanggap angin lalu lantaran tak ada satupun kalimatmu ku mengerti. Sekarang, setelah aku memahami semuanya, mengapa alasanmu justru jauh berbeda?

Ukhti.. kau tak lagi syar'i. Hedonisme membawanya menjauh dari jalan tata cara hidup islami. Tamparan keras untuk diri, bahwa istiqamah bukan hal mudah. Bahwa taat pada Ilahi, sesulit mengendalikan nafsu yang bersemayam dalam diri. Bahwa ego dalam diri, kerap menghancurkan iman pada nurani. Ingatan bertumpu pada Firman Allah :

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi" (QS Ali Imran : 8)

Ketika kami berpisah, dan tak satupun kata yang menelusup masuk ke hatinya, saya hanya menengadahkan tangan, menundukkan hati, dan berdoa untuknya.. Semoga ia kembali..

Saudariku, yang pernah menyadarkanku akan kebutuhan diri pada Ridho Ilahi...
Saudariku, yang pernah membuatku terpana akan ketaatannya
Saudariku, yang pernah menamparku dengan akhlak dan perilakunya
Saudariku, yang pernah begitu istimewa meski dirajut dalam kesederhanaannya...
Saudariku, yang pernah menjadi akhwat smart, hebat dan taat...

Semoga Allah menuntun jalanmu.. mengembalikanmu pada koridor-Nya... mengarahkan langkahmu hingga kembali pada jalan menuju Ridho-Nya semata.. Aamiin Allahumma Aamiin... :(


Palembang, 7 Syawal 1434 H

Kamis, 28 Maret 2013

AYAH


Suara itu datang lagi. Seolah ada semacam alat rekam di telinga, lalu memutar ulang semua ucapannya, dan tak jeda lama, suara mereka melingkar-lingkar di saluran telinga dan segera tertambat di sel-sel otak. Membuat memory-ku siaga dan tak henti mengingatnya. Jutaan kalimat pujian pada Allah tertutur lewat celah bibir Ayah melihat Ka’bah tercanang indah di tengah lautan manusia berpakaian ihrom yang mengitar di sekelilingnya.

“Ayah ingin ke Mekkah, Ray…”

Sudah tiga bulan ini ucapan Ayah melingkar-lingkar di saluran telingaku, membuatnya terus terngiang. Bahkan saat kelam menyelubung, pun ketika aku rebah dalam hening, ucapan Ayah selalu menikam batin. Aku anak Ayah yang paling awal menatap bumi. Dua adik perempuanku masih meniti langkah di bangku kuliah. Ibu? Bertahan dengan rutinitasnya sebagai guru ngaji di masjid dekat rumah adalah pilihan Ibu. Meraup pahala dengan jalan Allah. Lalu Ayah? Tiga puluh dua tahun berkutat di balik meja di sebuah ruangan di kantor pajak dilakoninya. Staff administrasi yang jujur. Ayah bilang kejujuran adalah harta dunia yang paling berharga, lantaran hanya segelintir orang yang memilikinya. 

“Dunia sudah bergelimpangan dengan tubuh terkulai lemah yang berisi dosa Ray. Jiwa mereka redup dan hanya bermodalkan sedikit pahala untuk menghadap Allah nantinya. Kenapa Ayah harus mengotori dunia dengan ikut menjadi bagian dari dekadensi moral bangsa?” sering kalimat itu terlontar dari bibir Ayah saat kutanya perihal dirinya yang selalu skeptis kalau dihadapkan pada materi. “Kamu mau kita punya BMW? tapi suatu hari BMW mu akan terjungkal di aspal keropos yang uangnya disita Ayahmu sendiri untuk masuk anggaran pribadi? Ray, itu cuma sesaat, tidak penting” lanjutnya dengan senyum mengembang. 

Dan Ayah hanya terkekeh saat kutanya perihal kenapa Ayah yang sudah mengabdi puluhan tak tahun tak juga melangkah ke anak tangga berikutnya untuk promosi jabatan. “Ayah malas Ray, untuk naik jenjang Ayah harus bersaing dan berkutat dengan kemaksiatan, menjilat, menebar kebohongan dan merendahkan diri sendiri di mata Allah untuk menaikkan jabatan di dunia yang sementara? Ayah tidak akan pernah mau, Ray..”
Aku tak punya cukup banyak stock jempol untuk diacungkan menanggapi semua sifat Ayah. Aku hanya bisa merasakan kebanggaan yang membuncah untuk Ayah.

* * *

Ayah tercenung menatap Ka'bah di televisi. Lagi-lagi pusaran permintaan menuju tanah suci itu kembali bermain di benakku. Ada rasa pilu yang menusukku. Ada rasa bersalah yang menerpaku. Ada semacam pusaran angin yang merusak pertahananku. Aku hanya dosen di sebuah perguruan tinggi yang gajinya mungkin hanya seperempat dari uang jajan bulanan para mahasiswaku. Vespa bututku selalu terparkir rapi ditengah-tengah motor sport pada mahasiswa, atau mobil baru para mahasiswi. Banyak Nilai A bermain-main di depan hidungku, dan kalau kutorehkan di indeks prestasi mahasiswaku, mungkin sebuah BMW sudah terparkir manis di depan rumah, atau mungkin Ayah dan Ibu sudah lama menginjakkan kaki di tanah suci. Tapi aku tak pernah mau. Aku dosen fakultas hukum, dan aku sangat tidak ingin nantinya pepatah maju tak gentar membela yang bayar terus disindirkan di telinga para penegak hukum di masa depan lantaran aku tidak mendidik mahasiswaku dengan bijak. Mau jadi apa negara ini kalau dua puluh tahun ke depan hukuman koruptor kelas kakap lebih ringan daripada si Abdu yang mencuri ayam tetangga dengan keterpaksaan lantaran perut anaknya menjerit minta diisi?
Sudah kuputuskan untuk meniti langkahku lagi, tiap tapaknya berada di jalan Allah SWT. Tak peduli rentetan cemoohan mereka yang tergiur materi, mengatakan aku dosen muda yang sok idealis. Aku membenarkan ucapan Ayah, bahwa idealis dan matrealis letaknya berseberangan dan jarang bisa sejalan.  

Suatu ketika Ayah menyodorkan sebuah buku kecil lusuh. Buku Tabungan Haji. Kulihat angka kecil yang berderet rapi disana. Sedikit lagi impian Ayah akan terwujud. Nominal yang kurasa sanggup kucari sebelum musim haji tahun ini. Insyaallah…

Sejak itu tiap hari kulalui dengan mengais rezeki. Mengajar tambahan diluar jam kerja, lembur sampai larut, pun ketika dua adikku mengeluh kalau aku terasing di rumah sendiri. Tapi semua yang kulakukan tidak sia-sia. Ayah dan Ibu akan menginjakkan kaki di tanah suci, memenuhi panggilan Ilahi, menunaikan rukun islam ke lima, impian Ayah akan segera terwujud...

* * *

Kepulanganku terasa menyenangkan dengan hati seringan angin, aku melangkah gontai lantaran besok aku akan mengantar Ayah memenuhi persyaratan menunaikan ibadah haji. Lalu roda vespaku melambat. Seorang bocah lelaki kecil tersedu di ujung jalan. Menyeka air mata dengan punggung tangan. Bahu terbalut kemeja lusuhnya terguncang dibalik isakan. Hei, ada apa dengannya? Kuhentikan laju vespaku, naluriku menggelegak, hatiku tersayat, kenapa dia? Kuulurkan tanganku, menyapa.

“Kenapa nak?"

Dia menengadah, mendapati lelaki asing yang bertanya. Kutatap mata beningnya, tangannya terulur menjangkau beberapa gelas minuman jeruk yang tumpah ruah. Hatiku kembali tercabik. Perbuatan siapa? "Udin dipaksa Bang Jabrik kasih uang pak. Emak Udin sakit, Udin mau beli obat. Tapi Bang Jabrik marah, dagangan Udin diinjek-injek. Udin kaga punya uang mau ganti, Pak, kan minuman jeruknya punya Mak Inah, nanti pasti Mak Inah nagih setoran. Mak Inah kaga bakalan percaya cerita Udin. Pasti Mak Inah nuduh uangnya Udin beliin rokok.." ceritanya disela isak yang membuncah. Aku mengusap kepalanya.

"Berapa harga dagangan Udin?"

"Lima belas rebu, Pak. Tapi uang Udin diambil Bang Jabrik..."

"Obat emak berapa?"

"Sepuluh rebu, Pak.."

"Jadi Udin butuh dua puluh lima ribu?" Bocah itu mengangguk dibalik tangisnya yang mulai surut. Kurogoh saku, mengeluarkan selembar kertas merah bergambar Bung Karno.

"Seratus rebu? Banyak amat, Pak? Udin kaga mau! Kata emak Udin kudu kerja baru boleh minta duit ama orang. Udin kaga boleh ngemis. Almarhum Bapak Udin juga bilang kalo mau kaya Udin kudu rajin, kaga boleh males.."
Aku terharu mendengar didikan orang tuanya pada bocah dengan kisaran umur enam tahun ini. Aku begitu nelangsa melihat deritanya.

"Ya sudah, kalau begitu, Udin antar Bapak kerumah Udin ya, nanti Bapak kasih kerjaan biar Udin dapet duit..." Si bocah mengangguk setuju. Kuparkir motorku di halaman sebuah masjid. Kata Udin kediamannya hanya berjarak beberapa langkah dari sini. Aku berdoa pada Allah, Mudah-mudahan emak si Udin masih sehat. Suasana malam itu cukup sepi. Hanya ada satu dua mobil melintas kencang di jalan raya. Udin menunjuk lorong kecil seberang jalan, mungkin di sana rumahnya. Aku melangkah menuruti jejak kaki kecilnya.

Tiba-tiba sebuah BMW, mobil yang dulu kuimpikan melintas cepat dan nyaris menyambar tubuh mungil Udin yang ringkih. Kutarik dia sebisaku, berhasil, Udin terjatuh ke trotoar, menjauh dari bahaya. Alhamdulillah... tak kusadar, sebagai gantinya kurasakan sesuatu berlinang di pelipis kiriku saat kulihat kap BMW itu menghantam kepalaku. Lalu semua gelap...

* * *

Dimana Udin? Kenapa ada Ayah? Kenapa Ayah masih disini? Tidak pergi ke Mekkah? Astaghfirullah.. Aku ingat harus mengantar Ayah mengurus persyaratan. Kulihat Ayah disana, mengacungkan buku kecil lusuhnya, tabungan Haji? Aku punya tanggung jawab memberangkatkan Ayah..

"Ray..." Suara Ayah terlalu samar..

"Rayhan..." Semakin jelas, lalu kurasa pelipisku berdenyut. Sesuatu semakin jelas. Ibu dengan linangan air mata. Azzahra dan Annisa yang tergugu dengan air mata yang membuncah. Dan Ayah, tak putus berdzikir menyebut Asma Allah..

"Abang sadar!!" teriakan Ara membangunkanku. Kutatap si bungsu yang langsung memeluk Nisa dan Ibu. Lalu untuk pertama kalinya kulihat Ayah menangis.. Lalu semua makin jelas di kepalaku. Sekali lagi membentuk pusaran ingatan yang menjajari tiap jengkal otakku.

Tidak akan pernah ada yang tau tatkala sebuah kedukaan merobek paksa kesempurnaan impian. Dengan kejam menghunuskan sebilah pedang di tengah sejuknya mimpi yang nyaris tergapai.. Semua terjadi hanya dalam semalam.. Aku, diriku, kelalaianku, salahku... Dan kecerobohanku memporak-porandakan impian Ayah...

"Ayah… Ayah harus berangkat haji…" Aku berkata lemah. Ayah tersenyum.

"Ayah tidak pergi Ray.." Aku mengerang. Kesal. Aku salah.. Ayah pasti gunakan uangnya untuk biaya rumah sakit!

“Tidak, Yah… Itu keinginan terbesar Ayah… Impian Ibu… ” Aku mengerang lemah dengan nada memohon. Ayah kembali tersenyum..

"Ayah cuma ingin kamu sembuh, Nak..." Ayah duduk didekatku.

* * *

Aku mengenakan peci berwarna hitam sambil mendekap Al-Qur’an menuju masjid bersama Ayah. Setiap sore, Ayah selalu menggamit tangan kecilku menuju masjid. Di masjid ayah mengajar ngaji pada anak-anak sebayaku. Usia sekolah dasar. Kadang setelah selesai mengaji, kami berkumpul mendengar cerita-cerita religius Ayah tentang Rasulullah dan para sahabat beliau. Seperti sore itu, Ayah menceritakan kisah yang begitu terpancang dalam ingatanku.

"Alkisah sehabis musim haji para malaikat berkumpul. Lalu salah satu malaikat bertanya : siapa tahun ini yang mendapat pahala haji mabrur? Malaikat yang tau menjawab : Hanya satu orang yaitu Muwafak. Seorang tukang sepatu yang bertahun-tahun mengumpulkan uang untuk berhaji. Malaikat lainnya menatap takjub. Bagaimana bisa Muwafak bisa mendapat pahala haji mabrur padahal dia tidak jadi berangkat haji? Begini ceritanya, suatu malam sebelum berangkat haji, keluarga Muwafak mencium bau daging panggang dari rumah tetangganya, keluarga Muwafak sangat tergiur dengan aroma daging itu dan berniat memintanya pada si tetangga. Tapi tetangganya tak mau memberi. Sebab, daging itu haram untuk Muwafak, namun halal bagi keluarga tetangganya. Muwafak heran, lalu menanyakan, daging apakah itu? Si tetangga yang fakir ini menceritakan, bahwa ini adalah bangkai keledai yang mereka temukan dan diiris lalu dibawa pulang sebagian untuk dimakan. Mereka sudah berhari-hari tak makan, dan khawatir anak-anaknya mati kelaparan, maka dimasaklah bangkai keledai itu. Muwafak terenyuh, dan langsung membawa semua uangnya, yang sedianya untuk berangkat haji, kemudian disedekahkan pada tetangganya yang fakir itu. Dengan itulah Allah SWT mengganti sodakoh Muwafak dengan pahala Haji yang Mabrur... Muwafak menunaikan ibadah haji di depan pintu rumahnya.. Subhanallah..."

Cerita Ayah belasan tahun yang lalu itu terdengar lagi saat ini. Ayah mengulangnya, membuat air mataku mengalir deras.

 “Ray... Alhamdulillah Ayah dikaruniai anak shaleh seperti kamu. Kamu kecelakaan, menjadi korban tabrak lari untuk niat baikmu menolong Udin..."

Udin, anak itu tersenyum memamerkan dua gigi depannya yang ompong. Ada wanita paruh baya yang kuduga emaknya, tampak segar. "Kakek ngasih banyak rebu, Pak. Udin kaga bisa ngitungnya... Udin kaga mau, tapi kata kakek, Udin kaga boleh nolak, soalnya itu hak Udin... Udin kaga ngarti, tapi kata Emak ambil, ya Udin ambil, kata kakek ntar Udin jadi lampunya kakek di sorga..."

Aku merasa bulir air mata siap jatuh kalau aku mengerjap sekali saja.. Ada sesak kebanggaan mencuat saat kulihat wajah tenang Ayah disisiku... “Keinginan terbesar Ayah bukan naik haji, Ray.. Keinginan terbesar Ayah adalah memiliki anak yang sholeh, yang bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk makhluk Allah yang lain.. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat, Nak… Rayhan.. jadilah anak yang sholeh, karena itulah impian terbesar Ayah...”

Aku tergugu, air mataku membuncah penuh rasa haru. Kucium punggung tangan Ayah dengan khidmat."Kamu tau kenapa ayah tidak pernah menginginkan harta berlebihan? Karena Allah mempersiapkan harta terbaik untuk hamba-Nya, melebihi kemewahan seluruh harta dunia. Yang pertama, amal jariah, yang kedua ilmu yang bermanfaat, dan yang ketiga anak yang sholeh. Dan tak ada yang lebih penting dari itu Ray.. Jadilah anak yang sholeh, yang selalu menjadi harta ayah yang paling berharga..." Ayah bertutur panjang. Aku hanya terdiam sambil terus mencium punggung tangan ayah dengan khidmat.

“Cepat sembuh nak..”

Ah.. Ayah...

****

Palembang, 26 Desember 2012

(Selamat Ulang Tahun ke 61 Untuk Papa... Semoga Allah Selalu memberi anugerah terbaik-Nya untuk Papa.. Aamiin...)

*Terinspirasi dari cerita "guru"-ku di BNI. Terimakasih tak terhingga untuk Pak Imam Samekto, menolongku saat masa sulit, mengajarkan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Semoga semua jasa baik bapak dibalas berupa kebahagiaan dunia-akhirat oleh Allah SWT.. Amin..

*Untuk Papa... Maaf, Pa, mimpi Papa dan Mama harus kandas gara-gara kesalahan ‘Na yang benar-benar ‘Na sesali..

Jumat, 28 Desember 2012

DUNIA TANPA LELAKI (sebuah cerita...)


Mereka, empat perempuan muda yang semuanya berjilbab rapi itu mengutarakan pendapat. Dua orang ibu muda dan dua orang gadis cantik yang belum menikah. Lalu ada lagi enam orang lelaki dengan karakter dan perawakan berbeda. Mereka juga bertutur jujur perihal isi kepala mereka tentang tempat itu.
“Mengerikan. Siapa yang sok jagoan akan habis tersiksa fisik dan psikis. Semuanya serba menakutkan. Ada satu kepala suku yang menindas semua yang tidak mengikuti aturannya. Mungkin jika kita berada disana, silahkan menentukan sikap. Jika ingin jahat, andalkan kekuatanmu dan kalahkan semuanya. Tapi jika ingin tenang tanpa gangguan, diam dan konsisten saja dengan kebaikanmu..”, lelaki pertama bersuara.
“Penjaga disana mata duitan. Di tempat itu semua bisa dibeli. Bahkan mereka membeli kebebasan!”, begitu pendapat lelaki kedua.
“Tempat itu keras bagi yang lemah. Mereka punya hukum rimba, dimana yang terkuatlah yang jadi pemenang. Rata-rata mereka yang ada disana bermental keras..”, tegas lelaki ketiga.
“Tempat yang sangat tidak menyenangkan. Menakutkan, dan kejam. Keadaan disana memaksa mereka untuk berbuat jahat..”, lelaki keempat berkata datar.
“Pasti sangat tidak nyaman berada disana. Jauh dari apapun, terisolasi, kehidupan jelas tidak menentu. Tempat yang berisi orang-orang jahat yang tentu saja akan menimbulkan banyak konflik..”, jelas lelaki kelima.
“Tempat yang selalu berkonotasi buruk dan bobrok. Tapi mungkin ada beberapa diantara mereka yang singgah kesana, menganggap tempat itu adalah sebuah sekolah. Nah, jika mereka menamatkan sekolah disana sampai jadi professor, tentu disanalah tabir hikmah terkuak..”, tatanan kata itu berasal dari perempuan pertama.
“Tempat itu adalah tempat orang-orang jahat. Mereka yang kaya akan menang. Fasilitas akan terpenuhi jika mereka berharta banyak..”, perempuan kedua bersuara.
“Tempat yang mengerikan. Ada beberapa diantara penguninya tidak punya hati. Tapi jika mereka punya hati, mereka pasti menggunakan tempat itu untuk merenung, belajar banyak hal. Tapi tempat itu bagus untuk mereka yang sombong dan takabur..”, tutur perempuan ketiga.
Dua pendapat terakhir dari lelaki keenam dan perempuan keempat menyita banyak perhatian. Perempuan keempat berkata singkat. “Laundry. Tempat itu adalah ruang pencucian untuk mereka yang mau membersihkan diri. Tapi bisa jadi makin kotor bagi mereka yang hanya bertumpuk saja dengan kotoran-kotoran lainnya tanpa mau membersihkan diri…”
Lalu lelaki keenam mengutarakan pendapat menariknya. “Tempat para bandar berkumpul mengatur strategi. Tempat para aktivis merenung untuk sebuah terobosan baru. Tempat yang bersalah mencuci nuraninya. Tempat instrument receh berkolaborasi meraih mimpi harta karunnya. Tempat kesemrawutan diubah menjadi regulasi undang-undang untuk konsumsi politik dan bisnis..”
Sepuluh pendapat itu mungkin saja mewakili isi otak dari seluruh manusia di muka bumi, minimal di tempat mereka menginjakkan kaki saat ini. Mereka berbicara sebatas apa yang mereka dengar dan ketahui. Mereka bertutur tentang tempat yang tak pernah mereka huni. Ya, mereka berbicara tentang Dunia Tanpa Lelaki.
Di dalam sana, dikelilingi tembok tinggi berjeruji, seorang perempuan muda menekuri mushafnya. Menamatkan lembar demi lembar untaian huruf yang membentuk indahnya Firman Allah. Di dalam sana, seorang ibu melipat mukenahnya dengan mata sembab sehabis mendoakan suami dan anak-anaknya yang kini harus melewatkan sang kala tanpa dirinya. Di antara dinginnya jeruji, seorang ibu muda menyusui anaknya yang dilahirkannya diantara sesal dan tegarnya mempertanggung jawabkan perbuatannya dan terus berdoa tanpa henti, semoga anaknya kelak akan mengangkat derajatnya, tumbuh dengan kuat meski terlahir dengan kondisi yang serba minim dari mulai edukasi sampai nutrisi. Di dalam sana, ada seorang ibu yang terus mengasah otak, membuka buku, meraup ilmu, berniat tulus, jika nanti dia bertemu kembali dengan tiga putrinya, dia akan tetap memiliki cukup ilmu untuk mendidik mereka. Disana, seorang gadis menyalin hadits dan ayat dari Al-Qur’an terjemahan, sebagai bekal untuk membentengi diri dari kesesatan yang nyata di dunia. Di dalam sana, seorang perempuan berjilbab sibuk menekuri setumpuk artikel yang dikirimkan ayahnya. Tumpukan artikel yang berisi cerita religius, kisah Nabi, Rasul dan para sahabat, juga beberapa kisah yang menggugah tentang taubatnya seorang hamba. Didalam sana, banyak perempuan bangun di sepertiga malam untuk menghadap sang Khalik. 
Dunia tanpa lelaki berisi banyak perempuan. Mereka sama seperti perempuan lainnya. Mereka juga seorang anak perempuan, seorang kakak, seorang adik, seorang istri, seorang ibu, seorang nenek yang tak henti berdzikir dan berdo’a, merunut kata mengucap sesal, memohon dibukanya pintu taubat.
Dunia tanpa lelaki adalah ruang bertemunya Sang Khalik dengan mahkluknya. Dunia tanpa lelaki adalah sarana seorang hamba mencari lagi cinta Sang Pencipta setelah sempat terlempar jauh dari koridor-Nya. Dunia tanpa lelaki adalah sarana eskalasi sisi religi, meraih Ridho Ilahi, bagi mereka yang menyadari, menyesali dan berupaya membuka nurani…
Di dunia tanpa lelaki, perempuan-perempuan itu mempunyai kemufakatan untuk beberapa hal :
Tempat ini boleh dianggap sebuah kehinaan di mata banyak orang, tapi kami berdo’a dan berusaha menjadikannya sarana untuk mencapai kemuliaan di mata Allah SWT.
Orang-orang boleh menganggap kami manusia yang bersalah dan layak dihukum seberat-beratnya. Tapi kami berkeyakinan bahwa kami justru orang-orang beruntung yang dipilih Allah untuk diuji dan diperingatkan agar kembali ke jalan-Nya.
Kami menyepakati kata pepatah : Orang bijak bukanlah orang yang tidak pernah berbuat kesalahan, melainkan orang yang mampu belajar dari kesalahan, memperbaikinya dan menjadi orang yang lebih baik lagi sesudahnya. Aamiin..
Singgahlah sebentar di dunia tanpa lelaki, dan anda akan memahami dan memaknai bagaimana menata hati. Sesal menjadi taubat, dendam menjadi ikhlas, sedih menjadi tawakkal, dan derita menjadi syukur. Bahwa sabar tak berbatas, dan kesabaran mencapai garis batas apabila kita berhenti bersabar.
Singgahlah sebentar di dunia tanpa lelaki, lihat kedalamnya, dan anda akan menyadari bahwa kita butuh gelap untuk menikmati indahnya bintang. Seperti kita juga membutuhkan kesedihan untuk meresapi indahnya kebahagiaan…

Senin, 29 Oktober 2012

SUMPAH (SERAPAH) PEMUDA


Masih dalam hitungan hari negeri Indonesia kita tercinta ini merayakan hari Sumpah Pemuda. Tanggal 28 Oktober lalu, usia hari sumpah pemuda ini sudah lumayan uzur, 16 tahun menjelang satu abad. Usia yang sudah teramat sangat matang untuk mengalami proses pengembangan.

Memang, banyak perkembangan yang dialami selama 84 kali bertambah usia sejak pertama kali di deklarasikan. Namun, adakah yang bisa menganalisa perkembangan itu mengarah ke positif atau justru kemerosotan mendekati arah negatif?

Kita tidak bisa meminta penilaian mereka-mereka yang tergabung dalam Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb atau pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie, dan mereka semua yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), yang menghadiri kongres, toh sebagian besar, atau malah semuanya, sudah berbaris menghadap Sang Khalik, bahkan W.R Supratman pun jika masih hidup, mungkin harus mengurut dada mendengar pemuda zaman sekarang lebih bangga memperdengarkan lagu Justin Bieber daripada lagu ciptaannya, Indonesia Raya.

R.A Kartini, yang semula ingin menghidupkan cahayaperempuan setelah gelap lewat tulisannya habis gelap terbitlah terang yang diharapkan bisa mendongkrak derajat kaum hawa, harus rela melihat kenyataan bahwa banyak sekali para feminis Indonesia yang kebablasan menafsirkan arti emansipasi sampai dirinya sendiri di eksploitasi secara fisik maupun mental.

Kembali ke pemuda. Kalau kita telaah satu persatu, generasi sekarang, mungkin hanya segelintir yang masih memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kecintaan terhadap budaya, bahasa, dan jati diri bangsa. Bahkan mungkin sebagian besar dari mereka bercita-cita berdomisili di negara asing yang modernisasinya lebih kental ketimbang berpikir keras dan berusaha sama kerasnya untuk kemajuan negeri ini. Pemahaman upaya pelestarian budaya, ketidakpedulian tentang perebutan jati diri bangsa melalui pencurian kebudayaan oleh tetangga, yang bahkan tidak dipedulikan pemuda. Mereka hanya meneriakkan "Ganyang Malaysia!" tanpa tau apa yang mereka curi, budaya seperti apa? Hapalkah mereka tiap bait lagu rasa sayange?Atau justru lebih fasih menyanyikan lagu-lagu korea? Pernahkah mereka berusaha melestarikan tari pendet? Atau justru lebih bangga menarikan tarian dengan baju minim seperti modern dance dan cheerleader? Bahkan mungkin mereka lebih hapal gangnam style daripada kesederhanaan tari tortor? Taukah pemudi Indonesia bumbu apa saja yang digunakan untuk memasak rendang kalau mereka sendiri lebih suka menyantap sepotong pizza? Sulitkan mereka mempelajari bahasa Indonesia lewat karya-karya sastrawan Indonesia dengan keindahan tata bahasa mereka? Bahkan jika dihadiahkan petuah bijak, jawaban pemuda rata-rata seperti ini : "Trus, gue harus bilang wow getooh?"

Tidak kita pungkiri bahwa intervensi budaya asing mulai mengalir di tiap-tiap nadi generasi muda Indonesia. Mereka terkontaminasi arus westernisasi bukan tanpa sebab. Lingkungan, termasuk media yang jadi fasilitator masuknya budaya asing tanpa filter, menayangkan secara vulgar budaya asing yang memang mungkin belum cocok diaplikasikan di Indonesia, yang lantas ditiru setengah jadi oleh pemuda pemudi Indonesia yang masih minim titah dan petuah tentang moralitas.

Mari kita telaah lagi, satu persatu isi dari sumpah pemuda.

Point pertama menegaskan bahwa : Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia. 
Meski pada prakteknya, terkadang nasionalisme yang memudar itu membuat mereka tidak tau cara mempertahankan jati diri bangsa.

point kedua : Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia.
Perpecahan antar sodara, berkembang issue negatif tentang politik, bahkan baku hantam dengan partai lain menjelang pemilihan umum sudah jadi tradisi. Belum tagi tawuran baik itu pelajar, mahasiswa maupun masyarakat yang kerap terjadi tanpa mammpu dicegah lagi, bahkan persoalannya pun terkadang amat sangat sepele. Lantas dimana persatuan kita sebagai Bangsa Indonesia?

point ketiga : Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. 
Bahasa Indonesia setengah bule sedang jadi trend. Bahasa Inggris dianggap lebih berkelas, bahkan, yang terparah adalah bahasa gaul! Dibuat kamus? Seolah makin menenggelamkan bahasa Indonesia. Belum lagi istilah-istilah semacam : ciuss? enelan? miapah? kamseupay, loe-gue-end, dan masih banyak lagi.

Entahlah, yang jelas, dekadensi moral sudah banyak terjadi dan semakin mengikis harapan sebagian besar rakyat Indonesia untuk menuju arah yang lebih baik. Kita tidak usah bicara pergerakan pemuda di tahun 1928. Mari kita menggeser angka ke tahun 1998. Dimana pemuda masih menunjukkan tekad mereka, mempersatukan visi dan misi, lantas melengserkan rezim orde baru.

Lantas masihkah sisa-sisa nasionalisme itu ada di sebelas tahun setelahnya? Adakah nasionalisme itu menumbuhkan lagi semangat sumpah pemuda di tahun 2012?

Mari kita jawab sendiri. Saat pemuda justru mengeluarkan "sumpah" serapah saat dipaksa berjemur dibawah terik matahari pagi saat menjalankan ritual upacara bendera memperingati hari sumpah pemuda, bisakah diri kita masing-masing menanamkan kembali jiwa nasionalisme agar pemuda tidak mengalami degradasi moral? 

Semoga di hari jadinya yang ke 84 ini, pemuda-pemudi Indonesia bisa menemukan cara terbaik untuk meningkatkan kadar moralitas mereka dan satu sama lain saling mengingatkan untuk menata masa sepan diri mereka sendiri, sebab kualitas masa depan mereka yang positif, akan menentukan masa depan bangsa, sebab masa depan bangsa, ada di tangan pemuda...

Selamat hari sumpah pemuda!


*gambar diambil dari rihadhumala.blogspot.com

Kamis, 20 September 2012

PILIH MANA : MERASA SUDAH BENAR ATAU MERASA BELUM BENAR?



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sedikit bingung bagaimana memulai pengalaman saya hari ini. Yang jelas, cukuplah dikatakan akselerator denyut jantung sekaligus pemicu melonjaknya tingkat emosi. Dan semua diawali dari gambar di atas. Ya. gambar itu adalah timeline saya di akun jejaring sosial twitter saya : @twelvedesrina yang kemudian saya captured, dan saya jadikan display picture untuk profile BBM. Tiga menit setelah saya ganti DP, BB saya nyaris disfungsi, gara-gara banyaknya BBM yang masuk dan bernada protes atas apa yg saya tulis di twitter.
BBM pertama : "Memangnya semua perempuan berjilbab itu berkualitas?"
BBM kedua : "Banyak yang menjadikan jilbab kedok mbak.."
BBM ketiga : "Ngga jaminan orang berjilbab lebih alim dari yang pamer p*ha dan d*da"
BBM keempat : "Jangan bicara kualitas jeung, banyak yg jilbab tp moralnya rendah, masih bikin dosa"
BBM kelima : "Sist, jilbab hati dulu baru kepala. Banyak yg ga jilbab tapi lebih taat ibadah, lebih shalihah"
BBM keenam : "Hareee geneee... banyak cewe jilbab yg munafik.."
BBM ketujuh : "Jaga omongan bu, merendahkan kita yg ga jilbab"
BBM kedelapan : "Artinya istri saya murahan donk?"
BBM kesembilan : "Ga usah ngomongin jilbab. Situ banyak dosa juga kan? Mentang2 pake jilbab. Muna deh.." --> saya langsung di delcont.
BBM kesepuluh : "Banyak kok mbak cewe jilbab yg kelakuannya lebih amit2 dari cewe pake baju seksi"
BBM kesebelas : "Ngomongin kualitas ni? Mbak tau ga, cewe jilbab ada yang main film b**ep!" --> astaghfirullah!

Beberapa menit setelah BB saya tidak "panas" lagi (sepanas hati saya :D) saya mulai membuka satu persatu pesan dari muslimah-muslimah (dan satu muslim yang membicarakan istrinya) yang belum berjilbab tersebut.

Yaah, setan sekarang canggih. Mereka punya perangkat dengan teknologi tinggi untuk melakukan manuver terhadap kita, tujuannya apalagi kalau bukan menghancurkan perangkat proteksi untuk menjaga akhlak, perilaku dan keimanan kita. Salah satu bukti profesionalisme setan ya ini, memancing emosi saya sampai-sampai hampir saya memaki-maki saudari muslimah yang melakukan aksi protes terhadap tulisan saya. Untungnya setannya langsung kabur mendengar istighfar! :D

Setelah berhasil menenangkan diri, saya coba menelaah satu persatu reaksi dari para pembaca tulisan saya. Yang saya dapat adalah reaksi bersifat kontradiktif dari muslimah yang belum tergerak hatinya untuk mengenakan hijab. Lalu saya menjawab satu persatu, diawali dengan mengutip Ayat Qur'an, Surat Al-Ahzab : 59, yaitu :


Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan hijabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab (33) : 59)

Setelah meminta mereka untuk membaca ayat di atas, saya kemudian menjawab sebisanya setiap BBM  yang masuk. Dan banyak reaksi yang saya dapat. Ada yang diam, tidak menjawab lagi. Ada yang mengajak berdebat, ada yg memaki dan langsung menghapus saya dari daftar kontaknya, dan adalagi yang membalas dengan menulis di status BBM-nya : "Munafik! Mulut tu pakein jilbab dulu, baru kepala! Hari gini jangan sok suci, sok alim, padahal PENIPU". Lagi-lagi saya hanya bisa beristighfar. Dan demi mendinginkan keadaan, saya kemudian menulis di status BBM saya : "Tidak ada maksud menggurui atau merasa yang paling benar. Saya hanya berbagi tentang pentingnya menutup aurat. Kebenaran hanya milik Allah SWT"

Beberapa diantara mereka ada yang masih terus mengajak saya untuk berdebat, kendati kata-katanya lebih lunak. Seperti misalnya yang sibuk membahas soal perempuan tak berjilbab lebih shalih daripada yang berjilbab. Saya hanya berkomentar singkat, mengutip twitternya Kang @hafidz_ary :  "jilbab dianggap pucak keshalihan perempuan, padahal ini kewajiban dasar". Ya, sesuai ayat di atas, menutup aurat adalah kewajiban dasar seorang muslimah. Hal yang WAJIB dilakukan muslimah. Jadi, stereotipe yang mengatakan bahwa perempuan yang menutup auratnya haruslah shalih dan siap mental, yang sering diistilahkan dengan 'jilbabkan hati dulu', atau 'ibadah harus sempurna dulu' itu tidaklah benar. Jilbab bukanlah bentuk penyempurnaan ibadah, namun justru hal yang paling awal dilakukan muslimah. Tidak menutup aurat berarti melanggar perintah Allah, dan setiap pelanggaran perintah Allah adalah  perbuatan dosa. Jadi bagaimana mungkin seorang muslimah melaksanakan ibadah yang lain tapi mengabaikan kewajiban dasarnya?

Banyak pula yang bilang : "Percuma pake jilbab, masih bikin dosa". Sekarang mari kita telaah, bukannya tidak menutup aurat juga sebuah perbuatan dosa? Jadi kalau muslimah yang tidak berjilbab berbuat dosa, jadi dosanya double donk? Kalau menurut saya sih, lebih baik kita ubah  paradigma yang seperti itu. Melihat seorang muslimah menggunakan tutup kepala (bukan tutup aurat) yang masih melakukan hal kurang terpuji lantas membuat yang tidak berjilbab tapi berkelakuan lebih terpuji langsung menganggap dirinya lebih baik. Sangat bijak kalau kita melihat sisi positif seseorang. Positifnya apa? Dia berjilbab. Negatifnya? Ya jangan kita tiru. Tunjukkan saja kalau kita muslimah yang taat dengan menutup aurat dan juga berperilaku baik.

Masa lalu seseorang yang buruk juga sering dikaitkan dengan penggunaan jilbab. Misalnya : "Ah, sok alim, padahal dia kan mantan napi" atau "kedok aja itu, dulu dia suka clubbing, mabok, narkoba, gonta ganti pacar" Atau yang ekstrim "Jangan ngomongin jilbab deh, inget ngga dulu suka pamer pa*a sama d*da kemana-mana?". Astaghfirullah.. Kalau saya boleh menganalogikan masa lalu, maka akan saya anggap masa lalu adalah kaca spion. Kenapa kaca spion dibuat kecil? Sebab kita tidak usah terlalu fokus disana. Fungsi spion hanya untuk dilihat sesekali sebagai pembelajaran, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sudah kita buat di belakang. Lalu fokuslah pada kaca depan yang membuat pandangan kita akan segala sesuatu di depan sana begitu luas. Terkadang banyak orang yang cenderung mempermasalahkan masa lalu seseorang yang suram, namun mengabaikan bagaimana ia berproses untuk membuat masa depannya lebih cerah. Sekali lagi, saya ingin mengutip tulisan yang saya buat di buku saya "Dunia Tanpa Lelaki" : Orang bijak bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, melaikan orang yang mampu belajar dari kesalahan yang diperbuatnya, sesegera mungkin memperbaikinya, dan tidak lagi mengulanginya. Menyesali kesalahan dan tidak mengulanginya adalah taubat. Taubat artinya membenci perbuatan dosa sebagaimana dia pernah mencintainya. Kalau seorang muslimah dulunya sering bermaksiat, kemudian bertaubat, menutup aurat, dan memperbaiki akhlak dan ibadahnya, maka insyaallah dia menuju ke arah Khusnul Khatimah. Bukankah itu jauh lebih baik daripada muslimah yang konsisten pada ketidaktaatannya atas perintah Allah? Mengabaikan perintah menutup aurat adalah bentuk ketidaktaatan. Maka, seburuk apapun masa lalu muslimah, lalu kemudian ia bertaubat, adalah jauh lebih baik. Allah Maha Pengampun. Seperti Firman Allah :

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar.”
(Thaaha: 82).

Membaca semua BBM yang masuk membuat hati saya miris. Tulisan saya menuai kritik justru dari sesama dan muslimah. Tidak satupun mereka yang non-muslim mempermasalahkan tulisan saya. Ironis sekali. Salah satu teman non muslim sempat bertanya pada saya : Dez, kenapa banyak ya cewek-cewek islam yang ribut banget menjelek-jelekkan temennya yang berjilbab?". Ya, miris memang. Mereka yang bukan muslimah tentu saja mengabaikan tulisan saya, toh, dalam ajaran agama mereka tidak ada perintah berjilbab. Saya sendiri, walaupun tidak pernah membenarkan ajaran agama mereka, tapi setidaknya menghargai mereka yang tidak menjelek-jelekan saudarinya. Kalau saya telaah, mungkin saudari muslimah sebaiknya sedikit menyikapi dengan adil tulisan-tulisan orang-orang yang ingin berbagi tentang pentingnya menutup aurat. Hidayah itu adalah anugerah Allah SWT untuk mereka yang menggunakan akal dan hatinya untuk mencari jalan yang benar menuju Cinta Allah. Jadi, daripada saling mencela, ada baiknya kita sikapi dengan baik saja. Toh, tidak ada ruginya saling mengingatkan? Dan bukankah yang disampaikan adalah ajakan menyeru kepada kebaikan?

Daripada kita masing-masing merasa paling benar, lebih baik kita bersama-sama mencari jalan ke arah kebenaran. Kalau saya sendiri sih merasa jadi manusia yang belum benar.  Bukankah lebih baik menjadi orang yang merasa belum benar daripada merasa sudah benar, apalagi merasa paling benar? Kebenaran hanya milik Allah SWT. Saya hanya bisa berdo'a, semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.. Semoga bermanfaat! :)

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Senin, 18 Juni 2012

MALING SAMPAH



Assalamualaikum...

Sedikit sharing tentang berita tadi pagi nih...


Tari Tor tor dicuri Malaysia! Begitu yang saya dengar dan saya baca hari ini. Dicuri lagi? Hanya itu komentar saya, ditambah tarikan alis dan mata yang membola. Ya, itu reaksi saya, tidak lebih. Sementara diluar sana, berbeda 180 derajat dengan reaksi saya, hampir semua kalangan mengutuk ulah Malaysia. Mulai dari aksi boikot dengan cara sendiri, demo ke pemerintah untuk bertindak cepat untuk mengantisipasi identitas bangsa yang telah dicuri, berbagai aliansi, persatuan, perkumpulan, semua membentuk kelompok-kelompok untuk menggagalkan aksi pencurian Malaysia, dan lain sebagainya. 

Setelah sebelumnya rasa sayange, reog, batik, songket, pendet, dan macam-macam lagi kebudayaan kita yang dicuri Malaysia, kini giliran tari Tortor. Ah, mata rasanya lelah membaca artikel senada tentang pencurian ini di berbagai media. Ada yang mengutuk Malaysia, ada yang menyalahkan pemerintah, adapula yang menyesalkan kenapa kebudayaan kita tidak dipatenkan.

Tanpa bermaksud menggurui, saya hanya ingin membuka sedikit tirai yang mungkin sudah usang dan menutupi sebagian besar ingatan kita. Hanya sedikiiit saja mengingatkan, bahwa bukankah budaya memang sudah seharusnya dilestarikan secara turun temurun?

Kalau boleh saya menguak sedikit fakta, bagaimana generasi muda menyikapi kebudayaan yang sekarang dinikmati Malaysia? Sebagian besar mereka acuh, atau hanya menulis kalimat makian kepada Malaysia lewat facebook, bbm, twitter, itupun setelah ditelaah, sebagian diantaranya tidak terlalu paham kasus yang ada, PM di BBnya, twitnya dan status facebooknya itu hanya supaya terlihat sedikit "berisi" saja, mungkin dengan begitu terlihat peka issue yang berkembang dan jadinya tidak ketinggalan jaman. Sisanya? Tidak peduli!

Tari Tortor, pendet, reog, songket, batik, rasa sayange, dan macam-macam lagi yang di klaim Malaysia, apakah generasi muda kita sendiri paham dan mengetahui seluk beluknya? Ditilik dari hal yang kecil saja, bagaimana budaya bisa dipertahankan kalau remaja Indonesia lebih bangga ikut di klub modern dance dengan busana seadanya membalut tubuh dan gerakan erotis daripada bergabung di sanggar tari tradisional? Contoh lain, lagu rasa sayange, jangan-jangan mereka lebih hafal lirik lagu Lady Gaga beserta intonasi dan koreografinya daripada lagu-lagu daerah dan lagu kebangsaan? Perkara batik dan songket, bagaimana bisa bertahan jika masyarakat Indonesia lebih memilih mengenakan gaun-gaun chiffon tipis daripada mengenakan batik dan songket untuk menghadiri acara resmi? Kalau demikian, tidak salah jika Malaysia memungutnya, sebab semua itu disia-siakan oleh bangsa Indonesia sendiri, yang lebih memilih terkontaminasi budaya asing daripada dianggap kuno dengan mempertahankan budaya bangsa.

Coba kita tanya dengan sekelompok remaja, adakah yang hapal gerakan tari Tot tor dan Pendet? Jangan-jangan berasal dari mana saja tidak diketahui? Coba kita tanya apakah ada yang hafal bait demi bait lagu rasa sayange? Jangan-jangan mereka hanya tau bait pertama saja? Adakah yang mengenakan songket dan batik untuk menghadiri acara pernikahan kerabat? Jangan-jangan ketika menikahpun mereka mengenakan wedding dress ala eropa? Coba pikirkan, kita sendiri lebih memilih melancong melihat-lihat bangunan-bangunan di Perancis daripada menikmati keindahan panorama Lombok? Keajaiban bawah laut Bunaken? Mempesonanya Pantai di Raja Ampat dan seribu satu tujuan wisata lokal lainnya? Jangankan mengajak wisatawan mancanegara untuk bertandang, kita sendiri lebih rela menukar rupiah untuk bepergian ke luar negeri?

Jadi, salahkah jika Malaysia mencuri apa yang kita buang? Kebudayaan, identitas bangsa yang bahkan kita sendiri tidak hargai? Tradisi, adat istiadat, kesenian, keanekaragaman cagar budaya yang kita sendiri tidak pernah menyentuhnya? Saat orang lain sudah mengambilnya, baru kita berbondong-bondong mengambilnya kembali?

Sekali lagi, tanpa bermaksud menggurui, mari kita benahi semua dari diri kita masing-masing. Mari kita pertahankan budaya bangsa, mari kita beramai-ramai mencintai negeri kita sendiri, mari kita semua saling mengingatkan untuk terus melestarikan budaya bangsa, dimulai dari diri kita sendiri. Gampang kan? Insyaallah... 

Hidup Indonesia!!!!


Wassalam...

Sabtu, 16 Juni 2012

SUSAHNYA MENIRU KHADIJAH (tantangan belajar sabar)


"..orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya, (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy-Syuura: 43)

“…Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Assalamualaikum...

Hari ini saya cuma kepingin banget cerita soal betapa susahnyaaaaa meniru salah satu teladan kita para muslimah yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah SAW yang dijuluki Ath-thohirah, yang berarti bersih dan suci. Kenapa kali ini saya mengaitkan belajar sabar dengan Siti Khadijah RA? Begini ceritanya...

Beberapa hari ini rasanya saya tersaruk-saruk memohon pada Allah SWT supaya di hati saya ini, quota untuk kesabaran ditambah lagi. Kalau anda jadi saya, rasa-rasanya anda juga bakalan mengajukan proposal permohonan dengan isi yang sama. Apalagi kalau anda juga berprofesi sama dengan saya, belajar jadi pedagang seperti teladan kita, Siti Khadijah RA. Beberapa minggu terakhir, saya baru saja belajar bangkit lagi dan memulai lagi coba dagang dari awal. Yaah, setelah dua tahun lebih saya 'study' di 'sekolah kehidupan' (semoga di mata Allah saya lulus dengan predikat cum laude ya! Aamiin :) ) sekarang saya coba menerapkan lagi semua ilmu bernilai positif yang saya dapat, untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis yang sekarang saya geluti lagi. Saya kapok? Tidak! Justru saya malah berniat mendalami lebih jauh lagi dan insyaallah dengan kesiapan mental yang berbeda pula. Kalau dulu saya bertumpu pada kekuatan pribadi dan merasa paling cerdas sendiri, sekarang saya usir jauh-jauh aura fir'aun yang sombong itu dari diri saya, dan lantas tidak lagi mengandalkan akal yang terbatas ini, tapi insyaallah selalu ingat bahwa Allah-lah yang punya otoritas di seluruh nafas, detak, dan hidup saya. Intinya, berbisnis dengan ajaran Allah. Kata-kata jera (kecuali untuk perbuatan dosa dan hal negatif lainnya) tidak pernah ada dalam kamus hidup seorang Desrina. Ibaratnya, kalau dulu saya nyaris tenggelam saat belajar berenang, sekarang saya justru kembali menceburkan diri kesana. Bedanya, sekarang saya sudah belajar mengukur kedalamannya, kadar suhunya, tekanan arusnya, dan persiapan apa saja yang harus saya lakukan sebelum kembali merenanginya. Insyaallah, tidak ada kata putus asa dalam keseharian saya. 

Intinya, saat ini saya sedang kembali mencoba jadi pedagang lagi. Mencoba bergelut di usaha laundry bersama orangtua dan kakak-kakak saya, dan mencoba berdagang beberapa produk, entah itu hasil karya sendiri, maupun produk rekan-rekan saya yang saya coba pasarkan. Nah, ketika sedang menjalaninya, adaaaaa saja yang menguji kesabaran saya. Oke, kali ini saya coba sharing ya, siapa tau anda pernah mengalami hal yang sama.

Kasus 1 
Lokasi : Laundry & Butik

Customer : mbak, saya mau ambil baju atas nama Anu, ini notanya..
Saya : ini bajunya mbak..
Customer : (melihat nota dengan teliti) Mbak.. mmm.. kok ini ada baju karate ya?
Saya : lho? maaf, bukannya baju karatenya memang punya mbak Anu?
Customer : Saya ngga punya baju karate lho mbak! Ada juga baju taekwondo! (ketus)
Saya : (garuk kepala) ooh.. beda ya mbak? Tapi bajunya bener ini kan?
Customer : Iyaaa.. tapi ini tuh namanya seragam taekwondo, bukan karate mbak! Masa ga bisa bedain sih!
(Yah, berhubung satu-satunya ilmu bela diri yang saya kuasai adalah jurus langkah seribu, ya otomatis susah untuk saya membedakan apakah satu set baju dan celana warna putih itu namanya seragam taekwondo atau seragam karate? Versi saya sih, yang putih begitu namanya baju karate)
Saya : (lingkaran emas di atas kepala) iya mbak, mohon maaf. Tapi yang penting isinya bener kan? Cuma salah tulis di notanya aja?
Customer : (ngeyel) Iyaa.. ga enak aja diliat mata kalo tulisannya salah gini!
TOEEEENG! (Itu nota juga bakal dibuang abis itu kan tanteeeeee!!!) 

Kasus 2 
Lokasi : Butik & Laundy

Customer : Mbak, ini parfum merk apa yah? (melihat jejeran botol parfum di etalase)
Saya : Oh, yang itu Bvlgari mas..
Customer : Ini biasanya tahan berapa lama?
Saya : Itu bisa 2-3 hari mas..
Customer : Bukan, maksud saya sebotol ini biasanya tahan berapa lama?
...SHIIIIING....
Saya : (bengong beberapa detik) oh.. ya tergantung pemakaian mas, kalo di semprot tiap hari ya jelas lebih cepet abis dibanding kalo disemprot seminggu sekali..
Customer : Ooo.. kalo ini biasanya berapa kali semprot ya? kalo misalnya sehari saya semprot tiga kali dalam dua kali semprotan, bisa berapa lama tuh tahannya? 
Saya : ((spanning mulai naik) JADI SAYA HARUS NGITUNGIN GITU?! SAYA INI TUKANG MINYAK WANGI! BUKAN GURU MATEMATIKA! JADI PENGEN NABOK! >> dalam hati) ehm.. aduh, saya kurang tau ya mas..
Customer : Wah, saya pengen tau mbak, soalnya saya kalo beli parfum maunya yang awet-awet, kalo bisa setengah tahunan ga abis-abis gitu..
Saya : ((nyaris memuntahkan lahar) BISAAAA! DUA PULUH TAHUN JUGA GA ABIS! APALAGI KALO BOTOLNYA MASIH DI SEGEL! GA USAH DISEMPROT!>> dalam hati) waduh, susah juga ya mas...
Customer : Ya udah deh, kalo ada yang awet gitu, trs murah, mbak info saya ya? Ini kartu nama saya..
..CIAAAATT DZIGH!! (BIAR KATA SAMPE LEBARAN KUDA NGGAK AKAN SAYA HUBUNGI KAMUUU!!)

Kasus 3 
Lokasi : kamar saya (BBM-an soalnya)

Customer : Des, saya liat di fb, kalo mau beli kaos palembangcity BBM kamu aja bisa kan? kaosnya masih ada?
Saya : Oh iya mas, kaosnya ada, mau motif apa? udah liat foto kaosnya di fb kan?
Customer : Iya, udah. Tapi saya pengen liat langsung, biar jelas banget. Lokasi outletnya dimana?
Saya : (menuliskan alamat outlet) bukanya dari jam 9 sampe jam 5 mas..
Customer : Oh.. di outlet ada kamu Des?
Saya : (mulai bingung) ngga, tapi kaosnya ada.
Customer : Yaah.. kok kamunya ngga ada disana sih?
Saya : (MAU LIAT KAOS APA SAYA SIH?! >> dalam hati) iya, saya ngga disana. Tapi kaosnya ada, disana ada yang jaga kok.. Dia ngerti stock. Bisa tanya ama dia langsung.
Customer : Cewek apa cowok? Cantik kayak kamu ngga?
Saya : (gigit bantal, nyaris banting BB) cowok mas, namanya Anu.. Maaf, mas cari kaos kan?
Customer : Iya sih, tapi kali aja bisa sekalian cari jodoh..
Saya : %&(%#!!@@#!??*^

Kasus 4 
Lokasi : Rumah saya (SMS-an)

Customer : Desrina ya? Saya Anu, mau beli kaos...
Saya : Iya mas Anu, mau motif yg mana? Size apa? Lokasi dimana?
Cusomer : Motif love ada ngga? Size-nya seluas samudra, lokasinya, dihatimuuuu...
Saya : (pingsan....)

Kasus 5
Lokasi : Butik & laundry

Customer : Dek, gamis yang itu berapa? Bisa liat ngga?
saya : Oh bisa bu.. Yang ini 175 ribu (mengambilkan gamis)
Customer : All size ya dek?
Saya : Iya bu..
Customer : Aduuh, ngga cukup kayaknya dek.. Warna lain ada nggak?
Saya : (bingung, size nggak cukup kok malah cari warna?) ada bu, ada biru sama coklat..
Customer : Yang biru sama coklat size-nya juga sama ya?
Saya : (YA IYALAAAH NAMANYA JUGA ALL SIZE KALEEEEE...!) iya sama bu, kan all size... Atau kalau ibu mau, yang satu itu aja bu, ada ukuran extra large-nya..
Customer : Ngga ah, saya suka yg ini.. Ngga bisa digedein ya dek?
Saya : (SITU AJA YANG BODY-NYA DIKECILIN!!) aduh ngga bisa bu.. 
Customer : Sayang banget ya, harusnya butiknya ini ada fasilitas ngecilin sama ngegedein baju dek.. ada penjahitnya gitu.. jadi kalo ada yg pengen ukuran beda kan bisa jahit disini...
...JRENG JREEENG..! (..tak sanggup berkata-kata)

Kasus 6 
Lokasi : Laundry & Butik

Customer : Mbak, ini bajunya di laundry ya, tapi saya mau yang laundry, bukan yang cucian..
Saya : (bingung) mmmm.. maksudnya yang digantung ya bu? Bukan yang dilipat? (mencoba menjelaskan dengan bahasa paling sederhana)
Customer : Aduh, mbak nggak ngerti ya? Ini jangan yang cucian kiloan murah kayak orang-orang lain, saya maunya laundry yaaa...
Saya : (nyaris mengurut dada) Iya bu, jadi saya gantung semuanya ya bu? kan nggak mau dikilo, jadi perpotong ya?
Customer : Yang digantung itu laundry kan? Bukan cucian biasa?
Saya : (Menjauhkan stempel yang pengen digetokin ke jidat) iya bu...
Customer : Laundry kan mbak ya? Bukan cucian? Saya nggak mau yang murah...!
GUBRAKKK!! >> Ya Allah.. ni ibu nggak punya kamus bahasa Inggris yaaaaa?!!!

Kasus 7
Lokasi : Mobil (lagi dijalan sambil fb-an)

Customer :  Mbak yang ini masih ada? (comment di bawah foto tas Furla)
Saya : Ada mbak. Tinggal yang merah..
Customer : Iya gpp, harganya pas ya?
Saya : Iya mbak, maaf harganya pas.. :)
Customer : Ngga bisa kurangin gitu mbak? Dikit ajaaa.. (yang ini dia tulis di message)
Saya : (balas message) Aduh, gimana ya? ya udah, saya potong 25 ribu ya mbak..
Customer : Yaaah, cuma 25ribu? Gpp deh, potong 25 ribu tapi kredit ya? 3X bayar bisa kaaan?
Saya : (KWAAAKK.. KWAAAAKK...) Aduh, ini cash mbak, ngga bisa...
Customer : Yaah saya pengen banget tas furla merah itu. Mbak, gini deh, saya bayar 2x tapi diskonnya digedein yaa?
Saya : (DOOEEENGGG!!!) Maaf ngga bisa mbak, diskon 25 ribu, itu juga untuk cash..
Customer : oooh.. gitu.. ya udah deh, cash gpp, tapi diskonnya 50 ribu ya? Langsung saya bayar hari ini deh, saya transfer kemana ni? Oh iya, saya di kota **** ongkirnya gratis yaaaa? Bonus gituuu...
PLETOKK!! >> (GIMANA KALO KAMU AJA YANG JUAL! SAYA BELI TU FURLA!!)

Kasus 8
Lokasi : Butik & Laundry

Customer : Iiiih sepatunya lucu mbak.. boleh liat?
Saya : (sumringah, sambil ngambilin sepatu) boleeeh...
Customer : Berapa mbak?
Saya : 150 ribu neng..
Customer : (coba sepatu) iiih paas ukuran 38 ya ini? Tapi mahal banget mbak?
Saya : Diskon deh, jadi 135 aja...
Customer : masih mahal mbak.. yang gini sih di bandung palingan ga nyampe seratus deh. Mbaknya kemahalan..
TOEEENG! (SANA PERGI BELI DI BANDUNG! DIKIRA BANDUNG - PALEMBANG GA PAKE ONGKOS!!)

Kasus 9
Lokasi  : Butik & laundry

Customer : Dek, itu keranjang aqua banget, hand made ya? berapaan?
Saya : Iya bu, hand made. Itu 300 ribu..
Customer : Waahh muraah... Di mall kalo full bunga gitu bisa 400-an.. Ada warna lain ga ya?
Saya : (excited) kalo yg jadi ga ada bu, tapi ibu bisa pesen kombinasi warna, nanti saya buatin, ada contoh warna akriliknya kok bu... (ngeluarin biji manik-manik berbahan akrilik)
Customer : Iya saya pesen deh, mana coba bantuin saya kombinasiin warna ya? Mmm.. coba liat yang putih itu kalo dipadu coklat bagus ngga ya? Atau pink ungu ya? Eh.. ntar, coba liat yang merah kalo ama kuning?
... setengah jam berlalu...
Customer : kayaknya bagusan yang ijo tadi aja ya dek, ama biru muda itu...
Saya : iya buu... (menguap lebar, untung ditutup pake tangan)
Customer : Aduh bingung saya.. Jadi pusing.. Nggak jadi aja deh pesennya, nanti aja kalo udah beli karpet baru, jadi bisa nyamain ama karpetnya.. hehehe...
Saya : hehehe (amat sangat terpaksa tertawa, sambil menahan diri ngga melempar tu ibu2 pake biji akrilik!)

Kasus 10 
Lokasi : Kamar saya (BBM-an lagi)

Customer : Desrina, saya Anu, mau tanya kaosnya masih ada?
Saya : Ada. Mas Anu mau yg motif apa?
Customer : Aku pengen liat langsung aja bisa?
Saya : Bisa. Di outlet aja mas, lokasinya.. (nulis lokasi outlet)
Customer : kamu ada disitu kan?
Saya : (oh tidak! Terjadi lagi!) ngga ada mas, itu yang jaga cowok, tanya dia aja bisa.
Customer : Kamu kapan ada disana?
Saya : (mulai perasaan ga enak) Aduh, saya jarang disitu mas. Tapi kaosnya ada..
Customer : Kamu kok ga disitu?
Saya : (Tendang guling) saya jaga butik mas.. Butik khusus busana MUSLIMAH..
Customer : Oh, aku beli baju butik kamu aja kalo gitu..
Saya : (tinju bantal) busana MUSLIMAH mas, buat cewek.. lagian, mas nyarinya kaos kan?
Customer : Ya, apa aja yg kamu jual aku beli des, ga kaos juga gpp...
Saya : (KALO SAYA JUAL PESAWAT SUKHOI SITU MAU BELI JUGA?!?)
>> akhirnya saya males dan stop membalas BBM-nya.. tapi...
PING!!
PING!!
PING!!
>> aduuh kesel kan di PING!! terus?
Customer : Des? Aku ini serius mau beli..
Saya : Iya mas, mau beli apa? (konsisten donk!)
Customer : Sebetulnya kaos sih, tapi males amat ke outlet kalo ga ada kamunya. Atau gini deh, bisa ga kamu ke outlet bentar pas aku kesana?
Saya : (SITU MAU BELI KAOS ATAU MAU BELI SAYAAAHHHH??? PENGEN NABOK!!) ngga bisa mas..
Customer : Atau gini deh, bisa ga kaosnya kamu bawa ke rumah kamu aja? aku ambil di rumah kamu aja..
Saya : (mempraktekkan gerakan yoga tingkat tinggi) aduuh, ngga bisa maaaaass...
Customer : Kenapa? Sombong banget sih kamu?
Saya : Saya harus izin orang rumah dulu mas, maaf yaaa...
Customer : Orang rumah?? Suami ya? Kan kamu single?? Kalo single jangan sombong des, nanti ga laku loh.. Biarpun jual baju kan ga ada salahnya diajak ketemuan? ga niat cari pacar apa?
KRAUKKK!! (gigit guling dan memporak-porandakan isi kamar) >> lagiaaaan! biarpun saya single, saya punya papa, punya mama, punya kakak laki-laki, punya kakak perempuan, jadi kan harus izin. Lagipula saya niatnya dagang paaaak.. Saya sekarang juga bukan penganut paham yang melegalkan pacaran sebelum menikah.. Ya Allah Ya Rabb... Kadang-kadang butuh kesabaran ekstra ya jadi pedagang perempuan... Untung saya sudah dikasih stabilizer sama Allah untuk menstabilkan emosi saya yang dulunya sering meledak-ledak. Ini si customer beruntung saya sudah sedikit beda, coba kalau dia memperlakukan saya begitu kira-kira 2 thn yang lalu, bisa saya kasih jurus tendangan tanpa alasan dia, atau minimal, keluarlah ciri khas saya ; judes level advance! Ckckck...

Yah.. kadang saya benar-benar minta pada Yang Maha Kuasa.. Ya Allah Ya Rabb... Boleh tidak hamba minta diinjeksikan kesabaran dengan dosis sedikit lebih tinggi dari biasanya?

Kadang saya sebagai seorang muslimah sekaligus pedagang yang sedang belajar jadi pribadi yg lebih baik, ingin sekali saya meniru perilaku positif Siti Khadijah RA sebagai seorang muslimah sekaligus praktisi bisnis. Sudah pasti beliau memiliki ujian dan cobaan yang jauuuh lebih besar dari yang pernah saya alami. baik sebelum maupun sesudah menjadi istri Rasulullah SAW. Dan kesabaran yang dimiliki beliau sangat layak untuk kita tiru..

Nah, semua yang kebetulan membaca tulisan saya ini tentunya punya pengalaman juga kan? Apapun itu, semoga kita semua bisa memetik hikmah yang insyaallah nantinya bisa kita jadikan pembelajaran untuk memperbesar kelapangan hati kita, mempertebal iman kita, dan melapangkan dada kita untuk senantiasa bersabar menerima cobaan dari Allah SWT yang diberikan Allah lewat perantara makhluknya ya.. Aamiin..

Semoga bermanfaat!

Wassalam