Mereka, empat perempuan muda yang
semuanya berjilbab rapi itu mengutarakan pendapat. Dua orang ibu muda dan dua
orang gadis cantik yang belum menikah. Lalu ada lagi enam orang lelaki dengan
karakter dan perawakan berbeda. Mereka juga bertutur jujur perihal isi kepala
mereka tentang tempat itu.
“Mengerikan. Siapa yang sok jagoan akan
habis tersiksa fisik dan psikis. Semuanya serba menakutkan. Ada satu kepala
suku yang menindas semua yang tidak mengikuti aturannya. Mungkin jika kita
berada disana, silahkan menentukan sikap. Jika ingin jahat, andalkan kekuatanmu
dan kalahkan semuanya. Tapi jika ingin tenang tanpa gangguan, diam dan
konsisten saja dengan kebaikanmu..”, lelaki pertama bersuara.
“Penjaga disana mata duitan. Di tempat
itu semua bisa dibeli. Bahkan mereka membeli kebebasan!”, begitu pendapat
lelaki kedua.
“Tempat itu keras bagi yang lemah.
Mereka punya hukum rimba, dimana yang terkuatlah yang jadi pemenang. Rata-rata
mereka yang ada disana bermental keras..”, tegas lelaki ketiga.
“Tempat yang sangat tidak menyenangkan. Menakutkan,
dan kejam. Keadaan disana memaksa mereka untuk berbuat jahat..”, lelaki keempat
berkata datar.
“Pasti sangat tidak nyaman berada
disana. Jauh dari apapun, terisolasi, kehidupan jelas tidak menentu. Tempat
yang berisi orang-orang jahat yang tentu saja akan menimbulkan banyak
konflik..”, jelas lelaki kelima.
“Tempat yang selalu berkonotasi buruk
dan bobrok. Tapi mungkin ada beberapa diantara mereka yang singgah kesana,
menganggap tempat itu adalah sebuah sekolah. Nah, jika mereka menamatkan
sekolah disana sampai jadi professor, tentu disanalah tabir hikmah terkuak..”,
tatanan kata itu berasal dari perempuan pertama.
“Tempat itu adalah tempat orang-orang
jahat. Mereka yang kaya akan menang. Fasilitas akan terpenuhi jika mereka
berharta banyak..”, perempuan kedua bersuara.
“Tempat yang mengerikan. Ada beberapa
diantara penguninya tidak punya hati. Tapi jika mereka punya hati, mereka pasti
menggunakan tempat itu untuk merenung, belajar banyak hal. Tapi tempat itu
bagus untuk mereka yang sombong dan takabur..”, tutur perempuan ketiga.
Dua pendapat terakhir dari lelaki keenam
dan perempuan keempat menyita banyak perhatian. Perempuan keempat berkata
singkat. “Laundry. Tempat itu adalah ruang pencucian untuk mereka yang mau
membersihkan diri. Tapi bisa jadi makin kotor bagi mereka yang hanya bertumpuk
saja dengan kotoran-kotoran lainnya tanpa mau membersihkan diri…”
Lalu lelaki keenam mengutarakan
pendapat menariknya. “Tempat para bandar berkumpul mengatur strategi. Tempat
para aktivis merenung untuk sebuah terobosan baru. Tempat yang bersalah mencuci
nuraninya. Tempat instrument receh berkolaborasi meraih mimpi harta karunnya.
Tempat kesemrawutan diubah menjadi regulasi undang-undang untuk konsumsi
politik dan bisnis..”
Sepuluh pendapat itu mungkin saja
mewakili isi otak dari seluruh manusia di muka bumi, minimal di tempat mereka
menginjakkan kaki saat ini. Mereka berbicara sebatas apa yang mereka dengar dan
ketahui. Mereka bertutur tentang tempat yang tak pernah mereka huni. Ya, mereka
berbicara tentang Dunia Tanpa Lelaki.
Di dalam sana, dikelilingi tembok tinggi
berjeruji, seorang perempuan muda menekuri mushafnya. Menamatkan lembar demi
lembar untaian huruf yang membentuk indahnya Firman Allah. Di dalam sana,
seorang ibu melipat mukenahnya dengan mata sembab sehabis mendoakan suami dan
anak-anaknya yang kini harus melewatkan sang kala tanpa dirinya. Di antara
dinginnya jeruji, seorang ibu muda menyusui anaknya yang dilahirkannya diantara
sesal dan tegarnya mempertanggung jawabkan perbuatannya dan terus berdoa tanpa
henti, semoga anaknya kelak akan mengangkat derajatnya, tumbuh dengan kuat
meski terlahir dengan kondisi yang serba minim dari mulai edukasi sampai
nutrisi. Di dalam sana, ada seorang ibu yang terus mengasah otak, membuka buku,
meraup ilmu, berniat tulus, jika nanti dia bertemu kembali dengan tiga
putrinya, dia akan tetap memiliki cukup ilmu untuk mendidik mereka. Disana,
seorang gadis menyalin hadits dan ayat dari Al-Qur’an terjemahan, sebagai bekal
untuk membentengi diri dari kesesatan yang nyata di dunia. Di dalam sana,
seorang perempuan berjilbab sibuk menekuri setumpuk artikel yang dikirimkan
ayahnya. Tumpukan artikel yang berisi cerita religius, kisah Nabi, Rasul dan
para sahabat, juga beberapa kisah yang menggugah tentang taubatnya seorang
hamba. Didalam sana, banyak perempuan bangun di sepertiga malam untuk menghadap
sang Khalik.
Dunia tanpa lelaki berisi banyak
perempuan. Mereka sama seperti perempuan lainnya. Mereka juga seorang anak
perempuan, seorang kakak, seorang adik, seorang istri, seorang ibu, seorang
nenek yang tak henti berdzikir dan berdo’a, merunut kata mengucap sesal,
memohon dibukanya pintu taubat.
Dunia tanpa lelaki adalah ruang
bertemunya Sang Khalik dengan mahkluknya. Dunia tanpa lelaki adalah sarana
seorang hamba mencari lagi cinta Sang Pencipta setelah sempat terlempar jauh
dari koridor-Nya. Dunia tanpa lelaki adalah sarana eskalasi sisi religi, meraih
Ridho Ilahi, bagi mereka yang menyadari, menyesali dan berupaya membuka nurani…
Di
dunia tanpa lelaki, perempuan-perempuan itu mempunyai kemufakatan untuk
beberapa hal :
Tempat
ini boleh dianggap sebuah kehinaan di mata banyak orang, tapi kami berdo’a dan
berusaha menjadikannya sarana untuk mencapai kemuliaan di mata Allah SWT.
Orang-orang
boleh menganggap kami manusia yang bersalah dan layak dihukum seberat-beratnya.
Tapi kami berkeyakinan bahwa kami justru orang-orang beruntung yang dipilih
Allah untuk diuji dan diperingatkan agar kembali ke jalan-Nya.
Kami
menyepakati kata pepatah : Orang bijak bukanlah orang yang tidak pernah berbuat
kesalahan, melainkan orang yang mampu belajar dari kesalahan, memperbaikinya
dan menjadi orang yang lebih baik lagi sesudahnya. Aamiin..
Singgahlah sebentar di dunia tanpa
lelaki, dan anda akan memahami dan memaknai bagaimana menata hati. Sesal
menjadi taubat, dendam menjadi ikhlas, sedih menjadi tawakkal, dan derita
menjadi syukur. Bahwa sabar tak berbatas, dan kesabaran mencapai garis batas
apabila kita berhenti bersabar.
Singgahlah sebentar di dunia tanpa
lelaki, lihat kedalamnya, dan anda akan menyadari bahwa kita butuh gelap untuk
menikmati indahnya bintang. Seperti kita juga membutuhkan kesedihan untuk
meresapi indahnya kebahagiaan…