Rabu, 30 Mei 2012

DUNIA TANPA LELAKI, SEBUAH REFLEKSI



“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri”

 (QS. Al-Baqarah (2) : ayat 222)

Hidup ini seperti meloncat-loncat dari satu fase ke fase berikutnya. Dalam tiap fase dalam hidup, kita pasti pernah mengalami banyak hal yang fluktuatif. Bukankah hidup seperti roda? Kadang di atas, kadang di bawah, kadang berhenti di tengah-tengah. Dan siapapun pasti pernah berada dalam satu fase yang merupakan momentum perubahan terbesar dalam dirinya, disebabkan karena sesuatu telah terjadi di fase tersebut, entah itu hal baik ataupun hal buruk. Saya menyebutnya ujian hidup. Apapun yang kita rasa sulit dalam hidup ini adalah sebuah ujian dari Allah SWT. Dan biasanya, seseorang akan menjadikan ujian yang dirasa terberat dalam hidupnya itu sebagai sebuah titik balik. Ya, titik balik untuk menuju ke arah berlawanan. Artinya, jika sebelumnya berada di area negatif, maka berikutnya harus berbalik ke arah positif. Jika merasa begitu buruk, maka gunakan ujian hidup itu sebagai sarana untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Penjara adalah salah satu tempat yang saya sebut sebagai tempat terberat menjalani ujian hidup. Tidak hanya kebebasan yang terenggut, tapi juga perasaan bersalah, penyesalan, kerinduan pada keluarga, sampai tekanan sosial dari masyarakat. Disadari atau tidak, banyak yang menuding penjara sebagai rahim dimana kejahatan bereproduksi dan kemudian tumbuh menjadi embrio yang akan lahir menjadi kejahatan baru. Stigma negatif itu kemudian berkembang menjadi semacam "rahasia umum" bahwa setiap makhluk yang pernah merasakan dinginnya jeruji besi adalah mereka yang bersalah dan layak dihukum seberat-beratnya. Memang, sebuah stigma negatif berangkat dari pengalaman yang terjadi sebelumnya. Seperti kata pepatah, tidak ada asap kalau tidak ada api, maka tidak akan ada issue negatif kalau tidak ada sebab musababnya. Diakui, memang banyak sekali para warga binaan pemasyarakatan yang seolah tak pernah jera membuat ulah, selalu saja kembali membuat tindak kejahatan yang kerapkali membuat banyak orang mengutuk dan berakhir menjadi hembusan citra buruk tentang penjara.

Meski demikian, tidak semua bisa digeneralisir demikian. Mengutip kata seorang teman : generalisir adalah cara berpikir yang malas. Sebab dengan menggeneralisir, orang tidak bijak memilah mana yang baik, mana yang kurang baik, dan mana pula yang tidak baik sama sekali. Saya memberi contoh di LAPAS Wanita Palembang, tempat yang saya sebut DUNIA TANPA LELAKI lantaran memang semua yang berdomisili di sana adalah wanita, kecuali bayi lelaki dan pegawai lelaki yang area kerjanya tentu saja di luar blok penghuni.

Di DUNIA TANPA LELAKI ini, banyak wanita yang mengalami perubahan terbesar dalam hidupnya, sebab sebagian besar dari mereka justru merasakan bahwa di balik dinding jeruji, mereka menemukan kembali jalan Allah yang sempat mereka tinggalkan. Mereka menjadikan penjara sebagai sarana pertemuan seorang makhluk dengan Sang Khalik, tempat mereka mengadukan seluruh penyesalan mereka dan tak henti berusaha bertaubat dan memohon ampunan-Nya. Seperti menemukan mutiara dalam kubangan lumpur, maka begitu pula para wanita menemukan hikmah dari balik jeruji besi di DUNIA TANPA LELAKI.

Orang bijak bukanlah orang yang tidak pernah berbuat kesalahan, melainkan orang yang mampu belajar dari kesalahan, memperbaikinya dan menjadi orang yang lebih baik lagi sesudahnya...