Senin, 29 Oktober 2012

SUMPAH (SERAPAH) PEMUDA


Masih dalam hitungan hari negeri Indonesia kita tercinta ini merayakan hari Sumpah Pemuda. Tanggal 28 Oktober lalu, usia hari sumpah pemuda ini sudah lumayan uzur, 16 tahun menjelang satu abad. Usia yang sudah teramat sangat matang untuk mengalami proses pengembangan.

Memang, banyak perkembangan yang dialami selama 84 kali bertambah usia sejak pertama kali di deklarasikan. Namun, adakah yang bisa menganalisa perkembangan itu mengarah ke positif atau justru kemerosotan mendekati arah negatif?

Kita tidak bisa meminta penilaian mereka-mereka yang tergabung dalam Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb atau pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie, dan mereka semua yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), yang menghadiri kongres, toh sebagian besar, atau malah semuanya, sudah berbaris menghadap Sang Khalik, bahkan W.R Supratman pun jika masih hidup, mungkin harus mengurut dada mendengar pemuda zaman sekarang lebih bangga memperdengarkan lagu Justin Bieber daripada lagu ciptaannya, Indonesia Raya.

R.A Kartini, yang semula ingin menghidupkan cahayaperempuan setelah gelap lewat tulisannya habis gelap terbitlah terang yang diharapkan bisa mendongkrak derajat kaum hawa, harus rela melihat kenyataan bahwa banyak sekali para feminis Indonesia yang kebablasan menafsirkan arti emansipasi sampai dirinya sendiri di eksploitasi secara fisik maupun mental.

Kembali ke pemuda. Kalau kita telaah satu persatu, generasi sekarang, mungkin hanya segelintir yang masih memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kecintaan terhadap budaya, bahasa, dan jati diri bangsa. Bahkan mungkin sebagian besar dari mereka bercita-cita berdomisili di negara asing yang modernisasinya lebih kental ketimbang berpikir keras dan berusaha sama kerasnya untuk kemajuan negeri ini. Pemahaman upaya pelestarian budaya, ketidakpedulian tentang perebutan jati diri bangsa melalui pencurian kebudayaan oleh tetangga, yang bahkan tidak dipedulikan pemuda. Mereka hanya meneriakkan "Ganyang Malaysia!" tanpa tau apa yang mereka curi, budaya seperti apa? Hapalkah mereka tiap bait lagu rasa sayange?Atau justru lebih fasih menyanyikan lagu-lagu korea? Pernahkah mereka berusaha melestarikan tari pendet? Atau justru lebih bangga menarikan tarian dengan baju minim seperti modern dance dan cheerleader? Bahkan mungkin mereka lebih hapal gangnam style daripada kesederhanaan tari tortor? Taukah pemudi Indonesia bumbu apa saja yang digunakan untuk memasak rendang kalau mereka sendiri lebih suka menyantap sepotong pizza? Sulitkan mereka mempelajari bahasa Indonesia lewat karya-karya sastrawan Indonesia dengan keindahan tata bahasa mereka? Bahkan jika dihadiahkan petuah bijak, jawaban pemuda rata-rata seperti ini : "Trus, gue harus bilang wow getooh?"

Tidak kita pungkiri bahwa intervensi budaya asing mulai mengalir di tiap-tiap nadi generasi muda Indonesia. Mereka terkontaminasi arus westernisasi bukan tanpa sebab. Lingkungan, termasuk media yang jadi fasilitator masuknya budaya asing tanpa filter, menayangkan secara vulgar budaya asing yang memang mungkin belum cocok diaplikasikan di Indonesia, yang lantas ditiru setengah jadi oleh pemuda pemudi Indonesia yang masih minim titah dan petuah tentang moralitas.

Mari kita telaah lagi, satu persatu isi dari sumpah pemuda.

Point pertama menegaskan bahwa : Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia. 
Meski pada prakteknya, terkadang nasionalisme yang memudar itu membuat mereka tidak tau cara mempertahankan jati diri bangsa.

point kedua : Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia.
Perpecahan antar sodara, berkembang issue negatif tentang politik, bahkan baku hantam dengan partai lain menjelang pemilihan umum sudah jadi tradisi. Belum tagi tawuran baik itu pelajar, mahasiswa maupun masyarakat yang kerap terjadi tanpa mammpu dicegah lagi, bahkan persoalannya pun terkadang amat sangat sepele. Lantas dimana persatuan kita sebagai Bangsa Indonesia?

point ketiga : Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. 
Bahasa Indonesia setengah bule sedang jadi trend. Bahasa Inggris dianggap lebih berkelas, bahkan, yang terparah adalah bahasa gaul! Dibuat kamus? Seolah makin menenggelamkan bahasa Indonesia. Belum lagi istilah-istilah semacam : ciuss? enelan? miapah? kamseupay, loe-gue-end, dan masih banyak lagi.

Entahlah, yang jelas, dekadensi moral sudah banyak terjadi dan semakin mengikis harapan sebagian besar rakyat Indonesia untuk menuju arah yang lebih baik. Kita tidak usah bicara pergerakan pemuda di tahun 1928. Mari kita menggeser angka ke tahun 1998. Dimana pemuda masih menunjukkan tekad mereka, mempersatukan visi dan misi, lantas melengserkan rezim orde baru.

Lantas masihkah sisa-sisa nasionalisme itu ada di sebelas tahun setelahnya? Adakah nasionalisme itu menumbuhkan lagi semangat sumpah pemuda di tahun 2012?

Mari kita jawab sendiri. Saat pemuda justru mengeluarkan "sumpah" serapah saat dipaksa berjemur dibawah terik matahari pagi saat menjalankan ritual upacara bendera memperingati hari sumpah pemuda, bisakah diri kita masing-masing menanamkan kembali jiwa nasionalisme agar pemuda tidak mengalami degradasi moral? 

Semoga di hari jadinya yang ke 84 ini, pemuda-pemudi Indonesia bisa menemukan cara terbaik untuk meningkatkan kadar moralitas mereka dan satu sama lain saling mengingatkan untuk menata masa sepan diri mereka sendiri, sebab kualitas masa depan mereka yang positif, akan menentukan masa depan bangsa, sebab masa depan bangsa, ada di tangan pemuda...

Selamat hari sumpah pemuda!


*gambar diambil dari rihadhumala.blogspot.com