Jumat, 16 Agustus 2013

MASIH (KAH) ISTIQAMAH

Meski kadang hati menentang, mencela penampilan seseorang memang sering membuat senang. Setidaknya merasa diri yang menang. Itulah yang saya lakukan 6 tahun yang lalu, ketika seorang rekan yang dulu tiba-tiba menjadi teman akrab saya. Parasnya yang cantik seolah tak cukup baik dimata saya. Ah, sayang sekali, kecantikannya tidak diimbangi dengan caranya menata penampilan. Meski rapi, tapi jauh dari kata modis dan trendy. Setiap saat hanya rok panjang, atasan yang bagian atasnya tak terlihat lantaran tertutup jilbab yang memanjang menutup dada, tanpa aksesoris apalagi make up yang sempurna menutup wajah. Telinga rasanya senang kalau mendengar orang membandingkan saya dan dia jika ditilik dari sisi fisik. "Dia memang cantik, tapi tak bisa disejajarkan denganmu yang begitu pintar menyesuaikan penampilan". Begitu celoteh beberapa rekan yang membuat hati melambung ringan.

Saya mengenalnya tak sengaja. Ketika kami sama-sama lolos seleksi di sebuah perusahaan dan diterima menjadi pegawai disana. Sama-sama jauh dari kampung halaman membuat kami dekat satu sama lain, meski berbeda kegemaran, berbeda lingkungan pertemanan, dan berbeda pula cara pandang dan penampilan. Usia kami yang hanya terpaut dua tahun membuat kami tak kesulitan beradaptasi.

Yang saya pandang dari perempuan muda yang saat itu berusia dua puluh satu tahun itu adalah gambaran seorang perempuan lugu yang tak kesampaian menjadi ustadzah. Tak hanya penampilan, tutur dan sikapnyapun membuat saya kerap tak nyaman. Setiap weekend, saya merogoh kocek dalam-dalam mencari sisa gaji untuk berpelesir menghibur diri. Berkumpul dengan teman dan bersenang-senang adalah pilihan saya. Sementara ia? Pernah saya mengamati ketika tak ada lagi sisa gaji yg bisa dikais-kais di akhir bulan, dan menghabiskan waktu akhir minggu dengan mendekam dikos-kosan. Pagi hari, ia mencuci. Ah, saya lirik tumpukan cucian yang belum sempat saya bawa ke laundry lantaran sampai larut saya menjelajah bersama teman-teman wanita bernyanyi di karaoke. Jelang siang, iaberkutat dengan mushaf dan berbisik melantunkan ayat-ayat suci. Saya lirik lagi qur'an mungil pemberian mama yang teronggok berdebu di atas lemari buku. Kapan terakhir saya membukanya? Dua bulan yang lalu sepertinya, saat sedang sedih ditinggal kekasih, dan berharap Allah segera menghadirkan pengganti pujaan hati. Siang hari, ia shalat zuhur lama sekali. Bukan hanya shalat qabliyah ba'diyah yang dilakoni, tapi bacaan dan gerakanpun pelan dan dihayati. Lagi-lagi saya mengamati mukenah putih yang menggantung dibalik pintu. Shalat hanya sekedar pelepas kewajiban. Tak sampai lima menit, dengan pikiran kemana-mana, saya laksanakan shalat seadanya. Selepas salam, tak ada doa apalagi shalawat, saya langsung menyambar ponsel dan bercengrama dengan teman-seman sejawat. Sore hari, ia membaca. Kulirik bukunya, Muslimah cinta Ilahi, itu judulnya. Sayapun sering membaca, rak buku penuh tertata, namun melihat judulnya, hati kembali gelisah. Ratusan novel terjemahan bertema kisah romantis dengan bahasa vulgar nan erotis. Ah, kenapa ada malu yang menyelusup? Malam hari, dia tilawah lama sekali. Sama dengan durasi dua DVD yang saya tonton. Saya menepuk kening. Memandang masygul jam dinding yang angkanya sudah mengarah ke jam sepuluh malam. Sejak sore saya tak beranjak, melewatkan maghrib dan isya begitu saja. Tengah malam saya terbangun, terkaget-kaget dengan kelebat bayang putih di depan pintu dapur. Ternyata dia, yang mengenakan mukenah selepas shalat malam, mencari air putih sebagai bekal sahur untuk puasa senin kamisnya. Ya Allah.. anak ini, terasa begitu dekat dengan Ilahi...

Kenapa jilbabmu panjang sekali? Tanya itu pernah terungkap ketika saya dan dia sama-sama mampir ke sebuah outlet busana muslimah di dekat kantor. Dia menolak membeli baju dan jilbab baru.
Yang lama masih banyak, Mbak, masih bagus, lagian, saya kurang cocok dengan modelnya. Itu dalihnya ketika saya sarankan membeli baju muslimah yang trendy. Dia tak pernah menggurui. Ketika saya menawarkan baju yang membentuk lekuk, ia hanya mengatakan bahwa ia tak nyaman jika auratnya hanya terbalut, bukan tertutup. Ketika saya menawarkan jilbab pendek yang bercorak meriah, ia hanya berkata, tak ingin jilbabnya tak menutup dada, khawatir akan mengundang pandangan berujung syahwat para pria. Ketika saya tawarkan make up untuk mempercantik wajah, ia hanya mengatakan tak memerlukannya, sebab sudah bersyukur dengan anugerah yang dilimpahkan Allah.. Lalu apa yang saya katakan saat itu? Ah, anak dua puluh satu tahun, bocah belum tau apa-apa sudah sok alim begini? Kan yang penting pake jilbab? Mau pendek panjang atau apapun, kenapa dipermasalahkan? Islam itu kan tidak ribet-ribet amat..

Tahun berikutnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Dia masih disana, tetap dengan kesederhanaannya, tetap dengan perilaku santunnya. Dan tahun-tahun berikutnya, saya terpisah jauh darinya, Tanpa kabar, tanpa komunikasi, dan semakin lama ingatan tentangnya mulai tersisih...

Di penghujung Ramadhan 1434 H, enam tahun berselang, entah apa rencana Allah, membawa kembali pertemuan kami. Meski awalnya jauh diseberang pulau, tak terduga pertemuan kembali terjangkau. Betapa berbeda ia saat ini. Seperti bertemu dengan orang yang asing. Atau jiwa lain yang bersemayam dalam tubuh yang sama. Tak terduga, ia pun memiliki pemikiran serupa.

"Astaga mbak? Ya ampun, lo beda banget sekarang! Kayak ustadzah aja lo mbak..."
Dia mengamatiku dari atas ke bawah. Aku tersenyum samar. Ah, tentu ia tak tau pengalaman hidup yang membuatku bermetamorfosis seperti ini. Meski belum maksimal, sedikit demi sedikit kututup rapat aurat, menanggalkan atribut keduniaan yang kurasa hanya menelantarkan. Teguran Allah lebih dari cukup sebagai bukti Cinta-Nya, agar aku tak terperosok lebih jauh ke lubang yang sama. Pengalaman ukhti.. pengalaman.. batinku disela syukur dan sesal. Kusyukuri teguran Allah padaku, dan kusesali perbuatan yang menjerumuskanku dulu.

"Kamu juga beda banget..." aku hanya menyembunyikan keherananku. Dia tetap langsing dan cantik. Meski sekarang kecantikannya terasa berbeda dengan make up sempurna menutup wajah. Kemeja lengan panjang dengan rok spandek ketat menyembunyikan sepasang tungkainya. Sepatu bertumit tinggi menambah semampai dirinya, dan turban berwarna senada menutup kepalanya, memperlihatkan leher jenjangnya dibalik dalaman ninja. Dari penampilan sampai cara berbicara kenapa terasa asing?

"Masih kerja di perusahaan yang sama dek?"
"Masih mbak, tapi udah pindah, ngga disana lagi. Di cabang baru pada muda-muda orangnya, belajar pake baju trendy nih..", gelaknya terdengar memilukan di telinga. Ah, ingatan kembali ke tempat kami pernah mengais rezeki. Ia pernah beradu mulut dan memohon dengan kepala cabang. Memohon agar seragamnya diizinkan berbeda, meminta agar diperbolehkan berjilbab menutup sampai ke perut, tidak ikut beauty class yang membawanya tampil polos tanpa make up, dan atasan seragam menutup nyaris mencapai lutut. Ketika saat ini saya memperhatikan staff perusahaan tersebut sudah boleh mengenakan gamis dan jilbab syar'i, kenapa ia justru membalik hati dan menjauh dari tata cara busana sesuai perintah-Nya?

"Seragamnya masih pake rok?"
"Masih donk mbak.. Lo tau kan gue kurus banget, kalo pake celana makin keliatan kurusnyaaa... mendingan pake rok deh mbak..."
Ah, kemana dalil-dalil itu? Yang kamu jelaskan padaku dulu ketika pertanyaan yang sama kuajukan enam tahun yang lalu? Dulu, yang kamu jelaskan adalah bahwa muslimah tidak diperkenankan berpakaian menyerupai lelaki, tidak boleh berpakaian membentuk tubuh, tidak boleh bermewah-mewahan.. semua kamu jelaskan dan pada saat itu kuanggap angin lalu lantaran tak ada satupun kalimatmu ku mengerti. Sekarang, setelah aku memahami semuanya, mengapa alasanmu justru jauh berbeda?

Ukhti.. kau tak lagi syar'i. Hedonisme membawanya menjauh dari jalan tata cara hidup islami. Tamparan keras untuk diri, bahwa istiqamah bukan hal mudah. Bahwa taat pada Ilahi, sesulit mengendalikan nafsu yang bersemayam dalam diri. Bahwa ego dalam diri, kerap menghancurkan iman pada nurani. Ingatan bertumpu pada Firman Allah :

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi" (QS Ali Imran : 8)

Ketika kami berpisah, dan tak satupun kata yang menelusup masuk ke hatinya, saya hanya menengadahkan tangan, menundukkan hati, dan berdoa untuknya.. Semoga ia kembali..

Saudariku, yang pernah menyadarkanku akan kebutuhan diri pada Ridho Ilahi...
Saudariku, yang pernah membuatku terpana akan ketaatannya
Saudariku, yang pernah menamparku dengan akhlak dan perilakunya
Saudariku, yang pernah begitu istimewa meski dirajut dalam kesederhanaannya...
Saudariku, yang pernah menjadi akhwat smart, hebat dan taat...

Semoga Allah menuntun jalanmu.. mengembalikanmu pada koridor-Nya... mengarahkan langkahmu hingga kembali pada jalan menuju Ridho-Nya semata.. Aamiin Allahumma Aamiin... :(


Palembang, 7 Syawal 1434 H