Jumat, 16 Agustus 2013

MASIH (KAH) ISTIQAMAH

Meski kadang hati menentang, mencela penampilan seseorang memang sering membuat senang. Setidaknya merasa diri yang menang. Itulah yang saya lakukan 6 tahun yang lalu, ketika seorang rekan yang dulu tiba-tiba menjadi teman akrab saya. Parasnya yang cantik seolah tak cukup baik dimata saya. Ah, sayang sekali, kecantikannya tidak diimbangi dengan caranya menata penampilan. Meski rapi, tapi jauh dari kata modis dan trendy. Setiap saat hanya rok panjang, atasan yang bagian atasnya tak terlihat lantaran tertutup jilbab yang memanjang menutup dada, tanpa aksesoris apalagi make up yang sempurna menutup wajah. Telinga rasanya senang kalau mendengar orang membandingkan saya dan dia jika ditilik dari sisi fisik. "Dia memang cantik, tapi tak bisa disejajarkan denganmu yang begitu pintar menyesuaikan penampilan". Begitu celoteh beberapa rekan yang membuat hati melambung ringan.

Saya mengenalnya tak sengaja. Ketika kami sama-sama lolos seleksi di sebuah perusahaan dan diterima menjadi pegawai disana. Sama-sama jauh dari kampung halaman membuat kami dekat satu sama lain, meski berbeda kegemaran, berbeda lingkungan pertemanan, dan berbeda pula cara pandang dan penampilan. Usia kami yang hanya terpaut dua tahun membuat kami tak kesulitan beradaptasi.

Yang saya pandang dari perempuan muda yang saat itu berusia dua puluh satu tahun itu adalah gambaran seorang perempuan lugu yang tak kesampaian menjadi ustadzah. Tak hanya penampilan, tutur dan sikapnyapun membuat saya kerap tak nyaman. Setiap weekend, saya merogoh kocek dalam-dalam mencari sisa gaji untuk berpelesir menghibur diri. Berkumpul dengan teman dan bersenang-senang adalah pilihan saya. Sementara ia? Pernah saya mengamati ketika tak ada lagi sisa gaji yg bisa dikais-kais di akhir bulan, dan menghabiskan waktu akhir minggu dengan mendekam dikos-kosan. Pagi hari, ia mencuci. Ah, saya lirik tumpukan cucian yang belum sempat saya bawa ke laundry lantaran sampai larut saya menjelajah bersama teman-teman wanita bernyanyi di karaoke. Jelang siang, iaberkutat dengan mushaf dan berbisik melantunkan ayat-ayat suci. Saya lirik lagi qur'an mungil pemberian mama yang teronggok berdebu di atas lemari buku. Kapan terakhir saya membukanya? Dua bulan yang lalu sepertinya, saat sedang sedih ditinggal kekasih, dan berharap Allah segera menghadirkan pengganti pujaan hati. Siang hari, ia shalat zuhur lama sekali. Bukan hanya shalat qabliyah ba'diyah yang dilakoni, tapi bacaan dan gerakanpun pelan dan dihayati. Lagi-lagi saya mengamati mukenah putih yang menggantung dibalik pintu. Shalat hanya sekedar pelepas kewajiban. Tak sampai lima menit, dengan pikiran kemana-mana, saya laksanakan shalat seadanya. Selepas salam, tak ada doa apalagi shalawat, saya langsung menyambar ponsel dan bercengrama dengan teman-seman sejawat. Sore hari, ia membaca. Kulirik bukunya, Muslimah cinta Ilahi, itu judulnya. Sayapun sering membaca, rak buku penuh tertata, namun melihat judulnya, hati kembali gelisah. Ratusan novel terjemahan bertema kisah romantis dengan bahasa vulgar nan erotis. Ah, kenapa ada malu yang menyelusup? Malam hari, dia tilawah lama sekali. Sama dengan durasi dua DVD yang saya tonton. Saya menepuk kening. Memandang masygul jam dinding yang angkanya sudah mengarah ke jam sepuluh malam. Sejak sore saya tak beranjak, melewatkan maghrib dan isya begitu saja. Tengah malam saya terbangun, terkaget-kaget dengan kelebat bayang putih di depan pintu dapur. Ternyata dia, yang mengenakan mukenah selepas shalat malam, mencari air putih sebagai bekal sahur untuk puasa senin kamisnya. Ya Allah.. anak ini, terasa begitu dekat dengan Ilahi...

Kenapa jilbabmu panjang sekali? Tanya itu pernah terungkap ketika saya dan dia sama-sama mampir ke sebuah outlet busana muslimah di dekat kantor. Dia menolak membeli baju dan jilbab baru.
Yang lama masih banyak, Mbak, masih bagus, lagian, saya kurang cocok dengan modelnya. Itu dalihnya ketika saya sarankan membeli baju muslimah yang trendy. Dia tak pernah menggurui. Ketika saya menawarkan baju yang membentuk lekuk, ia hanya mengatakan bahwa ia tak nyaman jika auratnya hanya terbalut, bukan tertutup. Ketika saya menawarkan jilbab pendek yang bercorak meriah, ia hanya berkata, tak ingin jilbabnya tak menutup dada, khawatir akan mengundang pandangan berujung syahwat para pria. Ketika saya tawarkan make up untuk mempercantik wajah, ia hanya mengatakan tak memerlukannya, sebab sudah bersyukur dengan anugerah yang dilimpahkan Allah.. Lalu apa yang saya katakan saat itu? Ah, anak dua puluh satu tahun, bocah belum tau apa-apa sudah sok alim begini? Kan yang penting pake jilbab? Mau pendek panjang atau apapun, kenapa dipermasalahkan? Islam itu kan tidak ribet-ribet amat..

Tahun berikutnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Dia masih disana, tetap dengan kesederhanaannya, tetap dengan perilaku santunnya. Dan tahun-tahun berikutnya, saya terpisah jauh darinya, Tanpa kabar, tanpa komunikasi, dan semakin lama ingatan tentangnya mulai tersisih...

Di penghujung Ramadhan 1434 H, enam tahun berselang, entah apa rencana Allah, membawa kembali pertemuan kami. Meski awalnya jauh diseberang pulau, tak terduga pertemuan kembali terjangkau. Betapa berbeda ia saat ini. Seperti bertemu dengan orang yang asing. Atau jiwa lain yang bersemayam dalam tubuh yang sama. Tak terduga, ia pun memiliki pemikiran serupa.

"Astaga mbak? Ya ampun, lo beda banget sekarang! Kayak ustadzah aja lo mbak..."
Dia mengamatiku dari atas ke bawah. Aku tersenyum samar. Ah, tentu ia tak tau pengalaman hidup yang membuatku bermetamorfosis seperti ini. Meski belum maksimal, sedikit demi sedikit kututup rapat aurat, menanggalkan atribut keduniaan yang kurasa hanya menelantarkan. Teguran Allah lebih dari cukup sebagai bukti Cinta-Nya, agar aku tak terperosok lebih jauh ke lubang yang sama. Pengalaman ukhti.. pengalaman.. batinku disela syukur dan sesal. Kusyukuri teguran Allah padaku, dan kusesali perbuatan yang menjerumuskanku dulu.

"Kamu juga beda banget..." aku hanya menyembunyikan keherananku. Dia tetap langsing dan cantik. Meski sekarang kecantikannya terasa berbeda dengan make up sempurna menutup wajah. Kemeja lengan panjang dengan rok spandek ketat menyembunyikan sepasang tungkainya. Sepatu bertumit tinggi menambah semampai dirinya, dan turban berwarna senada menutup kepalanya, memperlihatkan leher jenjangnya dibalik dalaman ninja. Dari penampilan sampai cara berbicara kenapa terasa asing?

"Masih kerja di perusahaan yang sama dek?"
"Masih mbak, tapi udah pindah, ngga disana lagi. Di cabang baru pada muda-muda orangnya, belajar pake baju trendy nih..", gelaknya terdengar memilukan di telinga. Ah, ingatan kembali ke tempat kami pernah mengais rezeki. Ia pernah beradu mulut dan memohon dengan kepala cabang. Memohon agar seragamnya diizinkan berbeda, meminta agar diperbolehkan berjilbab menutup sampai ke perut, tidak ikut beauty class yang membawanya tampil polos tanpa make up, dan atasan seragam menutup nyaris mencapai lutut. Ketika saat ini saya memperhatikan staff perusahaan tersebut sudah boleh mengenakan gamis dan jilbab syar'i, kenapa ia justru membalik hati dan menjauh dari tata cara busana sesuai perintah-Nya?

"Seragamnya masih pake rok?"
"Masih donk mbak.. Lo tau kan gue kurus banget, kalo pake celana makin keliatan kurusnyaaa... mendingan pake rok deh mbak..."
Ah, kemana dalil-dalil itu? Yang kamu jelaskan padaku dulu ketika pertanyaan yang sama kuajukan enam tahun yang lalu? Dulu, yang kamu jelaskan adalah bahwa muslimah tidak diperkenankan berpakaian menyerupai lelaki, tidak boleh berpakaian membentuk tubuh, tidak boleh bermewah-mewahan.. semua kamu jelaskan dan pada saat itu kuanggap angin lalu lantaran tak ada satupun kalimatmu ku mengerti. Sekarang, setelah aku memahami semuanya, mengapa alasanmu justru jauh berbeda?

Ukhti.. kau tak lagi syar'i. Hedonisme membawanya menjauh dari jalan tata cara hidup islami. Tamparan keras untuk diri, bahwa istiqamah bukan hal mudah. Bahwa taat pada Ilahi, sesulit mengendalikan nafsu yang bersemayam dalam diri. Bahwa ego dalam diri, kerap menghancurkan iman pada nurani. Ingatan bertumpu pada Firman Allah :

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi" (QS Ali Imran : 8)

Ketika kami berpisah, dan tak satupun kata yang menelusup masuk ke hatinya, saya hanya menengadahkan tangan, menundukkan hati, dan berdoa untuknya.. Semoga ia kembali..

Saudariku, yang pernah menyadarkanku akan kebutuhan diri pada Ridho Ilahi...
Saudariku, yang pernah membuatku terpana akan ketaatannya
Saudariku, yang pernah menamparku dengan akhlak dan perilakunya
Saudariku, yang pernah begitu istimewa meski dirajut dalam kesederhanaannya...
Saudariku, yang pernah menjadi akhwat smart, hebat dan taat...

Semoga Allah menuntun jalanmu.. mengembalikanmu pada koridor-Nya... mengarahkan langkahmu hingga kembali pada jalan menuju Ridho-Nya semata.. Aamiin Allahumma Aamiin... :(


Palembang, 7 Syawal 1434 H

Kamis, 28 Maret 2013

AYAH


Suara itu datang lagi. Seolah ada semacam alat rekam di telinga, lalu memutar ulang semua ucapannya, dan tak jeda lama, suara mereka melingkar-lingkar di saluran telinga dan segera tertambat di sel-sel otak. Membuat memory-ku siaga dan tak henti mengingatnya. Jutaan kalimat pujian pada Allah tertutur lewat celah bibir Ayah melihat Ka’bah tercanang indah di tengah lautan manusia berpakaian ihrom yang mengitar di sekelilingnya.

“Ayah ingin ke Mekkah, Ray…”

Sudah tiga bulan ini ucapan Ayah melingkar-lingkar di saluran telingaku, membuatnya terus terngiang. Bahkan saat kelam menyelubung, pun ketika aku rebah dalam hening, ucapan Ayah selalu menikam batin. Aku anak Ayah yang paling awal menatap bumi. Dua adik perempuanku masih meniti langkah di bangku kuliah. Ibu? Bertahan dengan rutinitasnya sebagai guru ngaji di masjid dekat rumah adalah pilihan Ibu. Meraup pahala dengan jalan Allah. Lalu Ayah? Tiga puluh dua tahun berkutat di balik meja di sebuah ruangan di kantor pajak dilakoninya. Staff administrasi yang jujur. Ayah bilang kejujuran adalah harta dunia yang paling berharga, lantaran hanya segelintir orang yang memilikinya. 

“Dunia sudah bergelimpangan dengan tubuh terkulai lemah yang berisi dosa Ray. Jiwa mereka redup dan hanya bermodalkan sedikit pahala untuk menghadap Allah nantinya. Kenapa Ayah harus mengotori dunia dengan ikut menjadi bagian dari dekadensi moral bangsa?” sering kalimat itu terlontar dari bibir Ayah saat kutanya perihal dirinya yang selalu skeptis kalau dihadapkan pada materi. “Kamu mau kita punya BMW? tapi suatu hari BMW mu akan terjungkal di aspal keropos yang uangnya disita Ayahmu sendiri untuk masuk anggaran pribadi? Ray, itu cuma sesaat, tidak penting” lanjutnya dengan senyum mengembang. 

Dan Ayah hanya terkekeh saat kutanya perihal kenapa Ayah yang sudah mengabdi puluhan tak tahun tak juga melangkah ke anak tangga berikutnya untuk promosi jabatan. “Ayah malas Ray, untuk naik jenjang Ayah harus bersaing dan berkutat dengan kemaksiatan, menjilat, menebar kebohongan dan merendahkan diri sendiri di mata Allah untuk menaikkan jabatan di dunia yang sementara? Ayah tidak akan pernah mau, Ray..”
Aku tak punya cukup banyak stock jempol untuk diacungkan menanggapi semua sifat Ayah. Aku hanya bisa merasakan kebanggaan yang membuncah untuk Ayah.

* * *

Ayah tercenung menatap Ka'bah di televisi. Lagi-lagi pusaran permintaan menuju tanah suci itu kembali bermain di benakku. Ada rasa pilu yang menusukku. Ada rasa bersalah yang menerpaku. Ada semacam pusaran angin yang merusak pertahananku. Aku hanya dosen di sebuah perguruan tinggi yang gajinya mungkin hanya seperempat dari uang jajan bulanan para mahasiswaku. Vespa bututku selalu terparkir rapi ditengah-tengah motor sport pada mahasiswa, atau mobil baru para mahasiswi. Banyak Nilai A bermain-main di depan hidungku, dan kalau kutorehkan di indeks prestasi mahasiswaku, mungkin sebuah BMW sudah terparkir manis di depan rumah, atau mungkin Ayah dan Ibu sudah lama menginjakkan kaki di tanah suci. Tapi aku tak pernah mau. Aku dosen fakultas hukum, dan aku sangat tidak ingin nantinya pepatah maju tak gentar membela yang bayar terus disindirkan di telinga para penegak hukum di masa depan lantaran aku tidak mendidik mahasiswaku dengan bijak. Mau jadi apa negara ini kalau dua puluh tahun ke depan hukuman koruptor kelas kakap lebih ringan daripada si Abdu yang mencuri ayam tetangga dengan keterpaksaan lantaran perut anaknya menjerit minta diisi?
Sudah kuputuskan untuk meniti langkahku lagi, tiap tapaknya berada di jalan Allah SWT. Tak peduli rentetan cemoohan mereka yang tergiur materi, mengatakan aku dosen muda yang sok idealis. Aku membenarkan ucapan Ayah, bahwa idealis dan matrealis letaknya berseberangan dan jarang bisa sejalan.  

Suatu ketika Ayah menyodorkan sebuah buku kecil lusuh. Buku Tabungan Haji. Kulihat angka kecil yang berderet rapi disana. Sedikit lagi impian Ayah akan terwujud. Nominal yang kurasa sanggup kucari sebelum musim haji tahun ini. Insyaallah…

Sejak itu tiap hari kulalui dengan mengais rezeki. Mengajar tambahan diluar jam kerja, lembur sampai larut, pun ketika dua adikku mengeluh kalau aku terasing di rumah sendiri. Tapi semua yang kulakukan tidak sia-sia. Ayah dan Ibu akan menginjakkan kaki di tanah suci, memenuhi panggilan Ilahi, menunaikan rukun islam ke lima, impian Ayah akan segera terwujud...

* * *

Kepulanganku terasa menyenangkan dengan hati seringan angin, aku melangkah gontai lantaran besok aku akan mengantar Ayah memenuhi persyaratan menunaikan ibadah haji. Lalu roda vespaku melambat. Seorang bocah lelaki kecil tersedu di ujung jalan. Menyeka air mata dengan punggung tangan. Bahu terbalut kemeja lusuhnya terguncang dibalik isakan. Hei, ada apa dengannya? Kuhentikan laju vespaku, naluriku menggelegak, hatiku tersayat, kenapa dia? Kuulurkan tanganku, menyapa.

“Kenapa nak?"

Dia menengadah, mendapati lelaki asing yang bertanya. Kutatap mata beningnya, tangannya terulur menjangkau beberapa gelas minuman jeruk yang tumpah ruah. Hatiku kembali tercabik. Perbuatan siapa? "Udin dipaksa Bang Jabrik kasih uang pak. Emak Udin sakit, Udin mau beli obat. Tapi Bang Jabrik marah, dagangan Udin diinjek-injek. Udin kaga punya uang mau ganti, Pak, kan minuman jeruknya punya Mak Inah, nanti pasti Mak Inah nagih setoran. Mak Inah kaga bakalan percaya cerita Udin. Pasti Mak Inah nuduh uangnya Udin beliin rokok.." ceritanya disela isak yang membuncah. Aku mengusap kepalanya.

"Berapa harga dagangan Udin?"

"Lima belas rebu, Pak. Tapi uang Udin diambil Bang Jabrik..."

"Obat emak berapa?"

"Sepuluh rebu, Pak.."

"Jadi Udin butuh dua puluh lima ribu?" Bocah itu mengangguk dibalik tangisnya yang mulai surut. Kurogoh saku, mengeluarkan selembar kertas merah bergambar Bung Karno.

"Seratus rebu? Banyak amat, Pak? Udin kaga mau! Kata emak Udin kudu kerja baru boleh minta duit ama orang. Udin kaga boleh ngemis. Almarhum Bapak Udin juga bilang kalo mau kaya Udin kudu rajin, kaga boleh males.."
Aku terharu mendengar didikan orang tuanya pada bocah dengan kisaran umur enam tahun ini. Aku begitu nelangsa melihat deritanya.

"Ya sudah, kalau begitu, Udin antar Bapak kerumah Udin ya, nanti Bapak kasih kerjaan biar Udin dapet duit..." Si bocah mengangguk setuju. Kuparkir motorku di halaman sebuah masjid. Kata Udin kediamannya hanya berjarak beberapa langkah dari sini. Aku berdoa pada Allah, Mudah-mudahan emak si Udin masih sehat. Suasana malam itu cukup sepi. Hanya ada satu dua mobil melintas kencang di jalan raya. Udin menunjuk lorong kecil seberang jalan, mungkin di sana rumahnya. Aku melangkah menuruti jejak kaki kecilnya.

Tiba-tiba sebuah BMW, mobil yang dulu kuimpikan melintas cepat dan nyaris menyambar tubuh mungil Udin yang ringkih. Kutarik dia sebisaku, berhasil, Udin terjatuh ke trotoar, menjauh dari bahaya. Alhamdulillah... tak kusadar, sebagai gantinya kurasakan sesuatu berlinang di pelipis kiriku saat kulihat kap BMW itu menghantam kepalaku. Lalu semua gelap...

* * *

Dimana Udin? Kenapa ada Ayah? Kenapa Ayah masih disini? Tidak pergi ke Mekkah? Astaghfirullah.. Aku ingat harus mengantar Ayah mengurus persyaratan. Kulihat Ayah disana, mengacungkan buku kecil lusuhnya, tabungan Haji? Aku punya tanggung jawab memberangkatkan Ayah..

"Ray..." Suara Ayah terlalu samar..

"Rayhan..." Semakin jelas, lalu kurasa pelipisku berdenyut. Sesuatu semakin jelas. Ibu dengan linangan air mata. Azzahra dan Annisa yang tergugu dengan air mata yang membuncah. Dan Ayah, tak putus berdzikir menyebut Asma Allah..

"Abang sadar!!" teriakan Ara membangunkanku. Kutatap si bungsu yang langsung memeluk Nisa dan Ibu. Lalu untuk pertama kalinya kulihat Ayah menangis.. Lalu semua makin jelas di kepalaku. Sekali lagi membentuk pusaran ingatan yang menjajari tiap jengkal otakku.

Tidak akan pernah ada yang tau tatkala sebuah kedukaan merobek paksa kesempurnaan impian. Dengan kejam menghunuskan sebilah pedang di tengah sejuknya mimpi yang nyaris tergapai.. Semua terjadi hanya dalam semalam.. Aku, diriku, kelalaianku, salahku... Dan kecerobohanku memporak-porandakan impian Ayah...

"Ayah… Ayah harus berangkat haji…" Aku berkata lemah. Ayah tersenyum.

"Ayah tidak pergi Ray.." Aku mengerang. Kesal. Aku salah.. Ayah pasti gunakan uangnya untuk biaya rumah sakit!

“Tidak, Yah… Itu keinginan terbesar Ayah… Impian Ibu… ” Aku mengerang lemah dengan nada memohon. Ayah kembali tersenyum..

"Ayah cuma ingin kamu sembuh, Nak..." Ayah duduk didekatku.

* * *

Aku mengenakan peci berwarna hitam sambil mendekap Al-Qur’an menuju masjid bersama Ayah. Setiap sore, Ayah selalu menggamit tangan kecilku menuju masjid. Di masjid ayah mengajar ngaji pada anak-anak sebayaku. Usia sekolah dasar. Kadang setelah selesai mengaji, kami berkumpul mendengar cerita-cerita religius Ayah tentang Rasulullah dan para sahabat beliau. Seperti sore itu, Ayah menceritakan kisah yang begitu terpancang dalam ingatanku.

"Alkisah sehabis musim haji para malaikat berkumpul. Lalu salah satu malaikat bertanya : siapa tahun ini yang mendapat pahala haji mabrur? Malaikat yang tau menjawab : Hanya satu orang yaitu Muwafak. Seorang tukang sepatu yang bertahun-tahun mengumpulkan uang untuk berhaji. Malaikat lainnya menatap takjub. Bagaimana bisa Muwafak bisa mendapat pahala haji mabrur padahal dia tidak jadi berangkat haji? Begini ceritanya, suatu malam sebelum berangkat haji, keluarga Muwafak mencium bau daging panggang dari rumah tetangganya, keluarga Muwafak sangat tergiur dengan aroma daging itu dan berniat memintanya pada si tetangga. Tapi tetangganya tak mau memberi. Sebab, daging itu haram untuk Muwafak, namun halal bagi keluarga tetangganya. Muwafak heran, lalu menanyakan, daging apakah itu? Si tetangga yang fakir ini menceritakan, bahwa ini adalah bangkai keledai yang mereka temukan dan diiris lalu dibawa pulang sebagian untuk dimakan. Mereka sudah berhari-hari tak makan, dan khawatir anak-anaknya mati kelaparan, maka dimasaklah bangkai keledai itu. Muwafak terenyuh, dan langsung membawa semua uangnya, yang sedianya untuk berangkat haji, kemudian disedekahkan pada tetangganya yang fakir itu. Dengan itulah Allah SWT mengganti sodakoh Muwafak dengan pahala Haji yang Mabrur... Muwafak menunaikan ibadah haji di depan pintu rumahnya.. Subhanallah..."

Cerita Ayah belasan tahun yang lalu itu terdengar lagi saat ini. Ayah mengulangnya, membuat air mataku mengalir deras.

 “Ray... Alhamdulillah Ayah dikaruniai anak shaleh seperti kamu. Kamu kecelakaan, menjadi korban tabrak lari untuk niat baikmu menolong Udin..."

Udin, anak itu tersenyum memamerkan dua gigi depannya yang ompong. Ada wanita paruh baya yang kuduga emaknya, tampak segar. "Kakek ngasih banyak rebu, Pak. Udin kaga bisa ngitungnya... Udin kaga mau, tapi kata kakek, Udin kaga boleh nolak, soalnya itu hak Udin... Udin kaga ngarti, tapi kata Emak ambil, ya Udin ambil, kata kakek ntar Udin jadi lampunya kakek di sorga..."

Aku merasa bulir air mata siap jatuh kalau aku mengerjap sekali saja.. Ada sesak kebanggaan mencuat saat kulihat wajah tenang Ayah disisiku... “Keinginan terbesar Ayah bukan naik haji, Ray.. Keinginan terbesar Ayah adalah memiliki anak yang sholeh, yang bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk makhluk Allah yang lain.. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat, Nak… Rayhan.. jadilah anak yang sholeh, karena itulah impian terbesar Ayah...”

Aku tergugu, air mataku membuncah penuh rasa haru. Kucium punggung tangan Ayah dengan khidmat."Kamu tau kenapa ayah tidak pernah menginginkan harta berlebihan? Karena Allah mempersiapkan harta terbaik untuk hamba-Nya, melebihi kemewahan seluruh harta dunia. Yang pertama, amal jariah, yang kedua ilmu yang bermanfaat, dan yang ketiga anak yang sholeh. Dan tak ada yang lebih penting dari itu Ray.. Jadilah anak yang sholeh, yang selalu menjadi harta ayah yang paling berharga..." Ayah bertutur panjang. Aku hanya terdiam sambil terus mencium punggung tangan ayah dengan khidmat.

“Cepat sembuh nak..”

Ah.. Ayah...

****

Palembang, 26 Desember 2012

(Selamat Ulang Tahun ke 61 Untuk Papa... Semoga Allah Selalu memberi anugerah terbaik-Nya untuk Papa.. Aamiin...)

*Terinspirasi dari cerita "guru"-ku di BNI. Terimakasih tak terhingga untuk Pak Imam Samekto, menolongku saat masa sulit, mengajarkan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Semoga semua jasa baik bapak dibalas berupa kebahagiaan dunia-akhirat oleh Allah SWT.. Amin..

*Untuk Papa... Maaf, Pa, mimpi Papa dan Mama harus kandas gara-gara kesalahan ‘Na yang benar-benar ‘Na sesali..