Kamis, 28 Maret 2013

AYAH

Share on :

Suara itu datang lagi. Seolah ada semacam alat rekam di telinga, lalu memutar ulang semua ucapannya, dan tak jeda lama, suara mereka melingkar-lingkar di saluran telinga dan segera tertambat di sel-sel otak. Membuat memory-ku siaga dan tak henti mengingatnya. Jutaan kalimat pujian pada Allah tertutur lewat celah bibir Ayah melihat Ka’bah tercanang indah di tengah lautan manusia berpakaian ihrom yang mengitar di sekelilingnya.

“Ayah ingin ke Mekkah, Ray…”

Sudah tiga bulan ini ucapan Ayah melingkar-lingkar di saluran telingaku, membuatnya terus terngiang. Bahkan saat kelam menyelubung, pun ketika aku rebah dalam hening, ucapan Ayah selalu menikam batin. Aku anak Ayah yang paling awal menatap bumi. Dua adik perempuanku masih meniti langkah di bangku kuliah. Ibu? Bertahan dengan rutinitasnya sebagai guru ngaji di masjid dekat rumah adalah pilihan Ibu. Meraup pahala dengan jalan Allah. Lalu Ayah? Tiga puluh dua tahun berkutat di balik meja di sebuah ruangan di kantor pajak dilakoninya. Staff administrasi yang jujur. Ayah bilang kejujuran adalah harta dunia yang paling berharga, lantaran hanya segelintir orang yang memilikinya. 

“Dunia sudah bergelimpangan dengan tubuh terkulai lemah yang berisi dosa Ray. Jiwa mereka redup dan hanya bermodalkan sedikit pahala untuk menghadap Allah nantinya. Kenapa Ayah harus mengotori dunia dengan ikut menjadi bagian dari dekadensi moral bangsa?” sering kalimat itu terlontar dari bibir Ayah saat kutanya perihal dirinya yang selalu skeptis kalau dihadapkan pada materi. “Kamu mau kita punya BMW? tapi suatu hari BMW mu akan terjungkal di aspal keropos yang uangnya disita Ayahmu sendiri untuk masuk anggaran pribadi? Ray, itu cuma sesaat, tidak penting” lanjutnya dengan senyum mengembang. 

Dan Ayah hanya terkekeh saat kutanya perihal kenapa Ayah yang sudah mengabdi puluhan tak tahun tak juga melangkah ke anak tangga berikutnya untuk promosi jabatan. “Ayah malas Ray, untuk naik jenjang Ayah harus bersaing dan berkutat dengan kemaksiatan, menjilat, menebar kebohongan dan merendahkan diri sendiri di mata Allah untuk menaikkan jabatan di dunia yang sementara? Ayah tidak akan pernah mau, Ray..”
Aku tak punya cukup banyak stock jempol untuk diacungkan menanggapi semua sifat Ayah. Aku hanya bisa merasakan kebanggaan yang membuncah untuk Ayah.

* * *

Ayah tercenung menatap Ka'bah di televisi. Lagi-lagi pusaran permintaan menuju tanah suci itu kembali bermain di benakku. Ada rasa pilu yang menusukku. Ada rasa bersalah yang menerpaku. Ada semacam pusaran angin yang merusak pertahananku. Aku hanya dosen di sebuah perguruan tinggi yang gajinya mungkin hanya seperempat dari uang jajan bulanan para mahasiswaku. Vespa bututku selalu terparkir rapi ditengah-tengah motor sport pada mahasiswa, atau mobil baru para mahasiswi. Banyak Nilai A bermain-main di depan hidungku, dan kalau kutorehkan di indeks prestasi mahasiswaku, mungkin sebuah BMW sudah terparkir manis di depan rumah, atau mungkin Ayah dan Ibu sudah lama menginjakkan kaki di tanah suci. Tapi aku tak pernah mau. Aku dosen fakultas hukum, dan aku sangat tidak ingin nantinya pepatah maju tak gentar membela yang bayar terus disindirkan di telinga para penegak hukum di masa depan lantaran aku tidak mendidik mahasiswaku dengan bijak. Mau jadi apa negara ini kalau dua puluh tahun ke depan hukuman koruptor kelas kakap lebih ringan daripada si Abdu yang mencuri ayam tetangga dengan keterpaksaan lantaran perut anaknya menjerit minta diisi?
Sudah kuputuskan untuk meniti langkahku lagi, tiap tapaknya berada di jalan Allah SWT. Tak peduli rentetan cemoohan mereka yang tergiur materi, mengatakan aku dosen muda yang sok idealis. Aku membenarkan ucapan Ayah, bahwa idealis dan matrealis letaknya berseberangan dan jarang bisa sejalan.  

Suatu ketika Ayah menyodorkan sebuah buku kecil lusuh. Buku Tabungan Haji. Kulihat angka kecil yang berderet rapi disana. Sedikit lagi impian Ayah akan terwujud. Nominal yang kurasa sanggup kucari sebelum musim haji tahun ini. Insyaallah…

Sejak itu tiap hari kulalui dengan mengais rezeki. Mengajar tambahan diluar jam kerja, lembur sampai larut, pun ketika dua adikku mengeluh kalau aku terasing di rumah sendiri. Tapi semua yang kulakukan tidak sia-sia. Ayah dan Ibu akan menginjakkan kaki di tanah suci, memenuhi panggilan Ilahi, menunaikan rukun islam ke lima, impian Ayah akan segera terwujud...

* * *

Kepulanganku terasa menyenangkan dengan hati seringan angin, aku melangkah gontai lantaran besok aku akan mengantar Ayah memenuhi persyaratan menunaikan ibadah haji. Lalu roda vespaku melambat. Seorang bocah lelaki kecil tersedu di ujung jalan. Menyeka air mata dengan punggung tangan. Bahu terbalut kemeja lusuhnya terguncang dibalik isakan. Hei, ada apa dengannya? Kuhentikan laju vespaku, naluriku menggelegak, hatiku tersayat, kenapa dia? Kuulurkan tanganku, menyapa.

“Kenapa nak?"

Dia menengadah, mendapati lelaki asing yang bertanya. Kutatap mata beningnya, tangannya terulur menjangkau beberapa gelas minuman jeruk yang tumpah ruah. Hatiku kembali tercabik. Perbuatan siapa? "Udin dipaksa Bang Jabrik kasih uang pak. Emak Udin sakit, Udin mau beli obat. Tapi Bang Jabrik marah, dagangan Udin diinjek-injek. Udin kaga punya uang mau ganti, Pak, kan minuman jeruknya punya Mak Inah, nanti pasti Mak Inah nagih setoran. Mak Inah kaga bakalan percaya cerita Udin. Pasti Mak Inah nuduh uangnya Udin beliin rokok.." ceritanya disela isak yang membuncah. Aku mengusap kepalanya.

"Berapa harga dagangan Udin?"

"Lima belas rebu, Pak. Tapi uang Udin diambil Bang Jabrik..."

"Obat emak berapa?"

"Sepuluh rebu, Pak.."

"Jadi Udin butuh dua puluh lima ribu?" Bocah itu mengangguk dibalik tangisnya yang mulai surut. Kurogoh saku, mengeluarkan selembar kertas merah bergambar Bung Karno.

"Seratus rebu? Banyak amat, Pak? Udin kaga mau! Kata emak Udin kudu kerja baru boleh minta duit ama orang. Udin kaga boleh ngemis. Almarhum Bapak Udin juga bilang kalo mau kaya Udin kudu rajin, kaga boleh males.."
Aku terharu mendengar didikan orang tuanya pada bocah dengan kisaran umur enam tahun ini. Aku begitu nelangsa melihat deritanya.

"Ya sudah, kalau begitu, Udin antar Bapak kerumah Udin ya, nanti Bapak kasih kerjaan biar Udin dapet duit..." Si bocah mengangguk setuju. Kuparkir motorku di halaman sebuah masjid. Kata Udin kediamannya hanya berjarak beberapa langkah dari sini. Aku berdoa pada Allah, Mudah-mudahan emak si Udin masih sehat. Suasana malam itu cukup sepi. Hanya ada satu dua mobil melintas kencang di jalan raya. Udin menunjuk lorong kecil seberang jalan, mungkin di sana rumahnya. Aku melangkah menuruti jejak kaki kecilnya.

Tiba-tiba sebuah BMW, mobil yang dulu kuimpikan melintas cepat dan nyaris menyambar tubuh mungil Udin yang ringkih. Kutarik dia sebisaku, berhasil, Udin terjatuh ke trotoar, menjauh dari bahaya. Alhamdulillah... tak kusadar, sebagai gantinya kurasakan sesuatu berlinang di pelipis kiriku saat kulihat kap BMW itu menghantam kepalaku. Lalu semua gelap...

* * *

Dimana Udin? Kenapa ada Ayah? Kenapa Ayah masih disini? Tidak pergi ke Mekkah? Astaghfirullah.. Aku ingat harus mengantar Ayah mengurus persyaratan. Kulihat Ayah disana, mengacungkan buku kecil lusuhnya, tabungan Haji? Aku punya tanggung jawab memberangkatkan Ayah..

"Ray..." Suara Ayah terlalu samar..

"Rayhan..." Semakin jelas, lalu kurasa pelipisku berdenyut. Sesuatu semakin jelas. Ibu dengan linangan air mata. Azzahra dan Annisa yang tergugu dengan air mata yang membuncah. Dan Ayah, tak putus berdzikir menyebut Asma Allah..

"Abang sadar!!" teriakan Ara membangunkanku. Kutatap si bungsu yang langsung memeluk Nisa dan Ibu. Lalu untuk pertama kalinya kulihat Ayah menangis.. Lalu semua makin jelas di kepalaku. Sekali lagi membentuk pusaran ingatan yang menjajari tiap jengkal otakku.

Tidak akan pernah ada yang tau tatkala sebuah kedukaan merobek paksa kesempurnaan impian. Dengan kejam menghunuskan sebilah pedang di tengah sejuknya mimpi yang nyaris tergapai.. Semua terjadi hanya dalam semalam.. Aku, diriku, kelalaianku, salahku... Dan kecerobohanku memporak-porandakan impian Ayah...

"Ayah… Ayah harus berangkat haji…" Aku berkata lemah. Ayah tersenyum.

"Ayah tidak pergi Ray.." Aku mengerang. Kesal. Aku salah.. Ayah pasti gunakan uangnya untuk biaya rumah sakit!

“Tidak, Yah… Itu keinginan terbesar Ayah… Impian Ibu… ” Aku mengerang lemah dengan nada memohon. Ayah kembali tersenyum..

"Ayah cuma ingin kamu sembuh, Nak..." Ayah duduk didekatku.

* * *

Aku mengenakan peci berwarna hitam sambil mendekap Al-Qur’an menuju masjid bersama Ayah. Setiap sore, Ayah selalu menggamit tangan kecilku menuju masjid. Di masjid ayah mengajar ngaji pada anak-anak sebayaku. Usia sekolah dasar. Kadang setelah selesai mengaji, kami berkumpul mendengar cerita-cerita religius Ayah tentang Rasulullah dan para sahabat beliau. Seperti sore itu, Ayah menceritakan kisah yang begitu terpancang dalam ingatanku.

"Alkisah sehabis musim haji para malaikat berkumpul. Lalu salah satu malaikat bertanya : siapa tahun ini yang mendapat pahala haji mabrur? Malaikat yang tau menjawab : Hanya satu orang yaitu Muwafak. Seorang tukang sepatu yang bertahun-tahun mengumpulkan uang untuk berhaji. Malaikat lainnya menatap takjub. Bagaimana bisa Muwafak bisa mendapat pahala haji mabrur padahal dia tidak jadi berangkat haji? Begini ceritanya, suatu malam sebelum berangkat haji, keluarga Muwafak mencium bau daging panggang dari rumah tetangganya, keluarga Muwafak sangat tergiur dengan aroma daging itu dan berniat memintanya pada si tetangga. Tapi tetangganya tak mau memberi. Sebab, daging itu haram untuk Muwafak, namun halal bagi keluarga tetangganya. Muwafak heran, lalu menanyakan, daging apakah itu? Si tetangga yang fakir ini menceritakan, bahwa ini adalah bangkai keledai yang mereka temukan dan diiris lalu dibawa pulang sebagian untuk dimakan. Mereka sudah berhari-hari tak makan, dan khawatir anak-anaknya mati kelaparan, maka dimasaklah bangkai keledai itu. Muwafak terenyuh, dan langsung membawa semua uangnya, yang sedianya untuk berangkat haji, kemudian disedekahkan pada tetangganya yang fakir itu. Dengan itulah Allah SWT mengganti sodakoh Muwafak dengan pahala Haji yang Mabrur... Muwafak menunaikan ibadah haji di depan pintu rumahnya.. Subhanallah..."

Cerita Ayah belasan tahun yang lalu itu terdengar lagi saat ini. Ayah mengulangnya, membuat air mataku mengalir deras.

 “Ray... Alhamdulillah Ayah dikaruniai anak shaleh seperti kamu. Kamu kecelakaan, menjadi korban tabrak lari untuk niat baikmu menolong Udin..."

Udin, anak itu tersenyum memamerkan dua gigi depannya yang ompong. Ada wanita paruh baya yang kuduga emaknya, tampak segar. "Kakek ngasih banyak rebu, Pak. Udin kaga bisa ngitungnya... Udin kaga mau, tapi kata kakek, Udin kaga boleh nolak, soalnya itu hak Udin... Udin kaga ngarti, tapi kata Emak ambil, ya Udin ambil, kata kakek ntar Udin jadi lampunya kakek di sorga..."

Aku merasa bulir air mata siap jatuh kalau aku mengerjap sekali saja.. Ada sesak kebanggaan mencuat saat kulihat wajah tenang Ayah disisiku... “Keinginan terbesar Ayah bukan naik haji, Ray.. Keinginan terbesar Ayah adalah memiliki anak yang sholeh, yang bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk makhluk Allah yang lain.. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat, Nak… Rayhan.. jadilah anak yang sholeh, karena itulah impian terbesar Ayah...”

Aku tergugu, air mataku membuncah penuh rasa haru. Kucium punggung tangan Ayah dengan khidmat."Kamu tau kenapa ayah tidak pernah menginginkan harta berlebihan? Karena Allah mempersiapkan harta terbaik untuk hamba-Nya, melebihi kemewahan seluruh harta dunia. Yang pertama, amal jariah, yang kedua ilmu yang bermanfaat, dan yang ketiga anak yang sholeh. Dan tak ada yang lebih penting dari itu Ray.. Jadilah anak yang sholeh, yang selalu menjadi harta ayah yang paling berharga..." Ayah bertutur panjang. Aku hanya terdiam sambil terus mencium punggung tangan ayah dengan khidmat.

“Cepat sembuh nak..”

Ah.. Ayah...

****

Palembang, 26 Desember 2012

(Selamat Ulang Tahun ke 61 Untuk Papa... Semoga Allah Selalu memberi anugerah terbaik-Nya untuk Papa.. Aamiin...)

*Terinspirasi dari cerita "guru"-ku di BNI. Terimakasih tak terhingga untuk Pak Imam Samekto, menolongku saat masa sulit, mengajarkan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Semoga semua jasa baik bapak dibalas berupa kebahagiaan dunia-akhirat oleh Allah SWT.. Amin..

*Untuk Papa... Maaf, Pa, mimpi Papa dan Mama harus kandas gara-gara kesalahan ‘Na yang benar-benar ‘Na sesali..

0 komentar:

Posting Komentar